Tuesday, January 23, 2007

Puisi : DADA KITA TAK BERISI MAKNA

 dalam menapaki jalan lurus menjurus pada belok berkelok yang cocok dengan desah nafasmu di ujung tidur malam siapa yang menoreh kata tak berujung terusung musim kemarau dalam ngigau yang risau di surau tua yang dibangun dalam lahan peradaban waktu bergulir seperti bola putih di buih pantai seandai engkau pamit dengan kabut yang menyelimuti seluruh hidupmu diramu suka duka lara bersulam nestapa siapa kata cinta tak senada rasa hingga mulut pun terkunci tak sudi memberi suara kepada siapa-siapa sampai masa menghentikan segalanya dunia terhentak bala mendadak meluluhlantakkan harta dan jiwa lihat air laut surut mengambil ancang ancang sebelum menerjang menyapu daratan yang kita puja puja karena indah dan kaya menyimpan emas dan hutan membentang di bola mata yang tak pernah berkedip secuil fiil di dada kita sesak dengan kata kata tak bermakna

november 2006

Aleh hai Luha, Ba hai Teungku

Syaribanun mendengar sebuah kalimat manis di televisi. "Upaya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa tidak pernah surut, baik melalui jalur pendidikan sekolah maupun jalur pendidikan luar sekolah". Ada seorang pejabat yang mengucapkan kata itu untuk sebuah acara seremonial.

Wanita itu tak mengerti benar di mana acara itu berlangsung. Tapi kalimat tadi terus  membekas di hatinya.
Jen- jen jok datang tak lama setelah Syaribanun "merekam" kalimat tersebut. Di televisi masih berlangsung acara warta berita yang menampilkan berbagai kegiatan berikut ucapan-ucapannya. Dia teringat kepada karibnya Bapak Kepala yang juga sering melontarkan kata-kata itu bila memberi pengarahan kepada anak buahnya. Atau Jen- jen jok ingat betul bagaimana dengan safari warna abu-abu tua Bapak Kepala berdiri di depan para hadirin. Penuh wibawa seorang pemimpin.

Atau di kesempatan lain ketika Bapak Kepala seolah memperoyeksikan diri sebagai Bapak Atasan dengan ungkapan-ungkapannya yang penuh wejangan. "Marilah kita meningkat rasa persatuan dan kesatuan melalui penerapan dan pelaksanaan Kadarkum dalam rangka menuju tinggal landas dan menyongsong sidang umum," kata Bapak Kepala ketika itu. Televisi lokal pun menyiarkan acara Kadarkum itu, karena Bapak Kepala mewakili atasannya, sekaligus membaca pidato tertulis.

Kepada jen- jen jok Bapak Kepala kemudian mengakui kalau apa yang diucapkan itu sebenarnya tak dia mengerti dengan jelas. Dia cuma membaca, sedangkan yang tulis adalah orang lain. Dia tak bisa juga paham apa hubungannya antara Kadarkum dengan tinggal landas. Apa pula hubungan tinggal landas dengan sidang umum. "Pokoknya saya tinggal baca karena karena Bapak Atasan berhalangan hadir," katanya menjelaskan kepada Jen- jen jok. "Yang paling penting," kata Jen- jen jok menyarankan, "jangan sekali-sekali lupa mengirim salam Bapak Atasan, dengan menyebutkan sebenarnya beliau berkeinginan hadir, tapi berhubung....."

Bapak Kepala tertawa mendengar ta'limat Jen- jen jok yang seolah- olah paling tahu tradisi birokrasi. Termasuk tradisi seorang pejabat pengganti alias pejabat pembaca kata sambutan yang selalu tidak lupa dengan kalimat sterotip "Sebenarnya beliau berkeinginan untuk hadi, Tapi......". Perkara ada atau tidaknya Bapak Atasa kirim salam kepada hadirin, itu soal lain. Yang penting harus begitu. Kalau tidak dia akan kena tegur. Sebab, biasanya walau telah mengirim wakil resmi untuk membacakan sambutannya, Bapak Atasan juga tak lupa mengirim mata-mata untuk mengamati bagaimana tingkah laku orang yang mewakilinya: Apakah ada kreueh bhan keue ngon bhan likot? Kreueh bhan keue ngon bhan likot adalah sebuah kalimat sindiran yang muncul di masa kini sesuai dengan konteks kekinian. Sedangkan di masa lalu, berbagai ungkapan digunakan untuk menyindir seseorang sesuai dengan konteks masa itu. "Takheuen bangai ok teukoh, takheuen bodoh sikula pih na." Bila sesorang didapati keliru karena kebodohannya maka ungkapan yang artinya: Dibilang dungu rambut terpangkas, dibilang bodoh sekolah pun ada, menjadi sindirin tepat. Ungkapan itu tentu sesuai konteks zamannnya. Dulu, lelaki yang memangkas rambutnya cukup langka. Hanya orang-orang terpelajar dan telah maju saja yang berpangkas rambut. Selebihnya, ya dicukur.

Demikian juga dengan soal sekolah. Amat jarang orang tua di kampung yang pernah mengenyam sekolah pada tingkat yang memadai. Apalagi yang sempat mendapat didikan di Mulo --sebuah sekolah menengah masa Belanda. Tapi meski tidak sekolah, jangan kira orang-orang tua itu buta huruf --atau bahasa sekarang disebut buta aksara. Rata-rata orang zaman bisa membaca dengan lancar dan sekaligus bisa berkomunikasi dengan orang luar dengan menggunakan bahasa Melayu. Pengajian kitab Jawo yaitu tulisan Arab bahasa Melayu telah memung- kinkan orang Aceh pandai membaca plus berbahasa Melayu alias bahasa Indonesia. Hanya yang tidak pernah mengaji saja yang tidak memiliki kemampuan tersebut.

Seorang teman Jen- jen jok di masa kecil, Luha namanya. Pria ini sama sekali tidak bisa bahasa Melayu dan membaca kitab Jawo. Dia dulu tergolong yang malas mengaji. Untuk mengeja huruf-huruf Arab dalam kitab Mukaddam saja, Luha tak mampu. Telah tiga buah Muhaddam sempat lusuh, Luha belum juga bila membaca alif ba ta sa. Apalagi kalau disuruh membca rangkaikan ba ateueh bareh ba, ba di yup bareh bi, ba kiwieng bareh bu. Dia bisa menghafal kata-kata itu, tapi mana yang ba, dia tak tahu.

Sebagai seorang teman, Jen-jen jok memperlakukan Luha dengan baik, berbeda dengan beberapa teman lain yang seolah mengucilkannya. Maka kepada Jen- jen jok pula Luha menyampaikan isi hatinya. Dia berpendapat, untuk apa mengaji tinggi-tinggi karena orang alim sudah ramai. Kenapa harus sekolah karena guru dan kerani telah penuh kantor.
Tapi Luha tak bisa menjawab ketika Jen- jen jok mengajukan pertanyaan, kepada dia harus kawin karena suami telah banyak. Dia cuma terkekeh-kekeh sambil menyebut nama seorang anak perempuan yang dia gilai selama ini.

Memang Luha adalah satu di antara lelaki yang tak mengerti bahasa Melayu dan tak bisa membaca kitab Jawo. Sekolah dan mengaji adalah dua hal yang tidak menarik baginya. Malah dia menganggap pergi mengaji ke rumah Teungku sebuah keterpaksaan karena disuruh orangtuanya. Jen- jen jok mencoba menyadari Luha, tetapi sahabatnya itu tetap pada prinsipnya. "Coba Luha baca ba ateueh bareh ba, ba di yup bareh bi, ba kiwieng bareh bu. Ba bi bu....," tuntunnya. Dengan cukup sigap Luha pun menjawab: Ba bi bu, soe nyang ba po nyan bi bu..." 

Pernah suatu malam dalam pengajian di rumah Teungku, Luha diajarkan mengenal alif --yang dalam lafal Aceh dieja dengan aleh. Sang Teungku memegang tangan anak lelaki itu sambil mengarahkan lidi di tangan sebagai alat penunjuk huruf-- ke huruf alif. "Aleh hai Luha," kata
Teungku meminta dia mengulangi kata-katanya. "Ba hai Teungku," jawab Luha. Dan merasa dipermainkan, Teungku berucap: "Kacok alee kuneuk poh Si Luha...." Lalu: "Kacok nuga kuneuek poh Teungku," jawab sang murid.

Setelah itu Luha tak pernah lagi hadir di pengajian. Syaribanun mendengar cerita suaminya perilhal Luha. Dia teringat kalimat-kalimat seorang di televisi tadi. "Upaya untuk mencerdaskan
kehidupan bangsa tidak pernah surut, baik melalui jalur pendidikan sekolah maupun jalur pendidikan luar sekolah." Juga kisah Bapak Kepala yang membaca pidato tertulis Bapak Atasan. Dia membayangkan seorang Luha. dengan rangkaian kalimat: Aleh hai Luha, ba hai Teungku.

courtesy: www.hamline.edu/apakabar/basisdata/2000/09/30/0011.html Tabloid KONTRAS (Aceh) No. 104

Oleh-oleh Untuk Bu Guru

 Hati Syaribanun berbunga-bunga. Kali ini bukan karena dia mendapat
pujian ketika dia menghidangkan makanan kesukaan suami, atau ketika
dia berpakaian aduhai. Rasa bahagia wanita penuh pesona itu tersangkut
paut dengan anaknya. Nyak Banta dan Rabumah masih tetap mampu menjaga
dan menghadirkan kebahagian bagi kedua orangtua mereka. Rapor sekolah
pada kuartal ini lumaian baik. Angkanya bagus-bagus.

"Saya belum juga dapat ranking mak," kata Rabumah tatkala ingin
menyerahkan rapornya. Serta merta sang ayah menukas: "Menjadi juara
penting, tapi yang terpenting kalian bisa menguasai pelajaran. Karena
untuk memperoleh ranking di sekolah juga dibutuhkan kemam- puan lain.
Misalnya dikenal baik oleh sang guru." Jen- jen jok diam dan menarik
nafas. Matanya menarawang. "Ayahmu ini tak kenal dengan gurumu, karena
kalian sekolah jauh di sana. Coba kalau kamu sekolah di sini, pasti
kamu dapat ranking," katanya.

Jen- jen jok terus berbicara soal sekolah. Syaribanun telah memegang
rapor anaknya. Betapa terkejutnya dia ketika melihat di kolom-kolom
bawah tertera perihal prestasi Rabumah. "Apa juga kamu bilang tidak
dapat ranking. Ini kan rangking dua," kata Syaribanun agak menggugat.
"Begini mak. Saya cuma ingin mengetes, apakah kalau kami tak dapat
rangking ayah dan mak akan marah," jelas Rabumah. Sang abang, Nyak
Banta mendekat sambil menyodorkan rapor. "Ayahmu ini tak perlu lagi
dites. Berbagai tes telah ayah jalani, termasuk tes akad nikah di
Kuakec ketika ingin kawin dengan mamakmu dulu," kata Jen- jen jok.
Keempat anak beranak itu tertawa lepas.

Sejak dulu, terhadap anak-anaknya --seperti juga dirinya- bagi Jen-
jen jok ada atau tidaknya dapat ranking, bukan segala-galanya. Ukuran
ilmu itu bukan pada angka-angka. Angka-angka secara aksiomatis memang
menunjukkan nilai dan kepastian. Tetapi angka- angka juga tidak
menjamin sebuah kebenaran. Angka bisa ditulis. Angka bisa dihapus.
Angka bisa diubah. Tapi kemampuan ril seseorang tidak bisa
dimanipulasi," kata Jen- jen jok. Dia teringat angka- angka di kantor
desa yang dibuat menurut kebutuhan. Kalau ingin mengambil banyak dana
IDT, ya buat saja angka orang miskin lebih banyak. Kalau yang
diperlukan untuk penilaian kemajuan desa, angka orang miskin harus
kecil, sedangkan hal-hal yang baik harus lebih besar.

"Apakah ayah tak percaya dengan angka-angka di rapor yang dibuat guru
kami?," tanya Nyak Banta sedikit kritis. "Saya percaya. Dibanding yang
lain-lain, angka-angka seorang guru jauh lebih valid, lebih bisa
dipercaya, meskipun kita tak boleh selalu terpaku pada angka-angka.
Bagi ayah, jika disuruh pilih untuk menjadi pemimpin, misalnya menjadi
keuchik, saya akan pilih seorang guru," kata Jen- jen jok. "Brok-brok
sidroe guru, meusigeutu jeuet keu peunawa," tambahnya. Jen- jen jok
menjelaskan bahwa kedudukan seorang guru sama dengan kedudukan
orangtua kita. Makanya dikatakan: Ayah ngon poma seureta gure, ureueng
nyan ban lhee tapeumulia. Meunyo na salah meuah talakee, akhirat
teuntee meuteu- mee pahla.

Nyak Banta dan Rabumah dengan tekun mendengar dan menyimak petuah sang
ayah. Mereka menghayati makna dan kedudukan seorang guru dalam
kehidupan yang sedang mereka lakoni. Syaribanun juga. Wanita itu
teringat beberapa sosok yang pernah menularkan ilmu kepadanya. Mulai
dari teungku di rumoh beuet yang mengajarkan mukaddam hingga guru-guru
di SR dan tsanawiyah, serta guru dari ibu-ibu PKK yang mengajarkan
keterampilan membuat boneka.

Jen- jen jok lantas menceritakan bagaimana pahitnya kehidupan guru
sejak dulu sampai sekarang. "Dulu seorang guru sangat dihormati.
Pertama karena dia memiliki ilmu dan mengajarkannya kepada orang lain.
Yang kedua sosoknya yang sederhana, ikhlas dan penuh ketela- danan,"
katanya. Dia mengisahkan bagaimana di tahun enampuluhan seorang guru
SR hanya bergaji cukup untuk membeli dua kilogram gula, itu pun
kadang-kadang diterimanya tiga bulan sekali. Tak ada tunjangan
apa-apa. Karena itu pulahlah di kampung-kampung rakyat membantu guru
melalui organisasi POMG (Persatuan Orangtua Murid dan Guru) dengan
menyumbang satu naleh padi setiap kali panen.

Dia ingat sosok Pak Raman yang mengajar pagi sore dengan jalan kaki
sejarak 10 km. Pernah Pak Raman terlambat datang dan anak-anak hampir
pulang. Keterlambatannya sampai di sekolah bukan karena punya
pekerjaan sampingan, tetapi karena dia harus menunggu baju- nya kering
di tali jemuran. Pak Raman, seingat murid-muridnya hanya punya satu
baju putih mirip Ero, tetapi bukan merek Ero. Tak mungkin seorang guru
mampu membeli mereka yang sering dipakai oleh kalangan ambtenar itu.
Celananya dari kain Puplin warna gelap sehingga tidak mudah kelihatan
kotor.

"Kalau sekarang pakaian guru bagus-bagus," kata Rabumah. "Ya, sekarang
kan lain, gaji guru sudah agak memadai," sambung Jen- jen jok. Rabumah
menceritakan kebanyakan yang berpakaian bagus --malah kelewat bagus--
adalah ibu guru, bukan bapak guru. Malah ada yang berbaju sutera dan
sepatu kualitas papan atas. Tetapi menurut Jen- jen jok, pakaian bagus
ibu guru itu bukan semua dibeli dengan uang gaji. Kebanyakan guru
wanita di kota-kota adalah istri orang besar, semisal istri Bapak
Kepala. "Kasihan memang ibu guru yang suaminya biasa-biasa saja," kata
Syaribanun mengenang temannya seorang guru SD yang gajinya habis
dipotong untuk kredit sepeda motor. "Saya pernah menghadiahkan
sepasang sepatu kepadanya, krena sepatu dipakai terkopek berat ketika
sedang mengajar," kisah Syaribanun.

"Bagus, kalau mak menghadiahkan sepatu untuk guru," kata Rabumah. dia
menceritakan di sekolahnya, hadiah orangtua murid diberikan waktu naik
kelas. Atau seusai libur panjang sebagai oleh-oleh murid. Di
sekolah-sekolah favorit, muridnya anak orang kaya yang senantiasa
pergi ke Jakarta atau kota lain waktu liburan panjang. Pulangnya bawa
oleh-oleh untuk guru. "Itu bagus, pertanda murid dan orangtuanya
menghargai jasa guru," kata Jen- jen jok.

"Tapi ayah, kadang-kadang banyak juga murid miskin yang jadi minder
karena tak mampu memberi hadiah. Mereka seperti kita juga tidak pernah
liburan ke luar kota waktu liburan panjang," kata Nyak Banta. Jen- jen
jok terenyuh. Dia berdoa semoga kelak bersama keluarganya bisa
berlibur ke luar kota, dan pulang bawa oleh-oleh untuk guru
anak-anaknya. Dia berjanji, bahwa oleh-oleh itu bukan semacam
pengumuman bahwa mereka baru pulang dari jalan-jalan.
Dia juga berharap, ada atau tidaknya oleh-oleh itu tidak akan
berpengaruh pada angka rapor, meskipun dia tetap berprinsip bahwa
angka-angka itu bukan segala-galanya. Di luar matahari semakin lelah.
Jen- jen jok menikmati hirupan terakhir teh manisnya. Sayup- sayup
suara azan Ashar terdengar.

courtesy: www.hamline.edu/apakabar/basisdata/2000/11/04/0012.html
                  Tabloid KONTRAS (Aceh) No. 109

Jamu Pesanan Suami

Agak ramai juga suasana di dalam pasar hari itu. Syaribanun dan makciknya, Teh Hindon, saling mengingatkan agar lebih berhati-hati dengan dompet. Soalnya belakangan sudah banyak pencopet beroperasi dio pasar-pasar. Kalau soal mas, keduanya memang tidak pernah memakainya kalau pergi ke pasar. Walaupun mas tidak bisa dipisahkan dengan gaya hidupnya, akhir-akhir ini banyak wanita yang tidak lagi memakai barangan emas di tempat-tempat umum. Perhiasaan tersebut hanya digunakan ketika pergi ke acara-acara kenduri atau ketika saling berkunjung di anatar teman dan kerabat.

Jika dihitung-hitung, antara lelaki dan wanita, jumlah wanita di pasar jauh lebih banyak. Kalau dalam soal berbelanja, konon kabarnya, wanita lebih hemat dari lelaki. Sebab wanita punya bakat tawar menawar yang luar biasa hebatnya. Bila perlu sampai nilai- nilai serupiah pun ada tawar menawar. Makanya kebiasaan masa dulu lelaki yang membeli tek tek bengek keperluan sehari-hari di pasar, kini tidak ada lagi. Kecuali lelaki yang tidak rela melepaskan duit pada istrinya.

Hari itu Syaribanun bersama Teh Hindon pergi ke pasar mencari berbagai keperluan, mulai dari barang-barang kebutuhan dapur sampai keperluan khusus wanita. Dari dulu kedua perempuan itu lebih suka berbelanja di pasar tradiosiobal, terutama pada penjual di emperan atau pedagang kakilima. Selain barang-barang tertentu yang dibelinya di toko, keperluan lain dibelinya dari para wanita penjaja alias nyak-nyak. Nyak-nyak itu adalah wanita perkasa yang mencari nafkah di tengah keramaian pengunjung pasar. Mereka datang dari daerah-daerah pinggiran.

Meskipun urusan belanja pokok telah selesai, tapi Teh Hindon dan Syaribanun masih kepingin jalan-jalan sekadar cuci mata di tokok- toko yang menjual berbagai keperluan. Tiba-tiba Syaribanun teringat sesuatu. Teh Hindon tertawa terkekeh-kekeh ketika Syaribanun mengatakan hampir lupa membeli pesanan suami. Bukan apa-apa, cuma karena pesanan itu adalah sejenis jamu yang khasiatnya sangat khas. "Suami yang pesan, atau wanita yang sengaja membeli, lalu suami tinggal meminumnya. Atau sebaliknya," tanya Teh Hindon. Syaribanun cuma tersenyum. Namun tawa mereka nyaris meledak ketika Syaribanun menirukan kata-kata iklan sebuah produk jamu tradisional yang sering mereka dengar diu radio.

Sebenarnya, jamu-jamu tradisional itu adalah ramuan yang diracik secara bersahaja dari daun-daunan. Dari dulu, meskipun tidak disebut jamu, orang Aceh telah menggunakan bahan-bahan dari daun atau akar kayu untuk menjaga kesehatannya. Cara pengobatan trdasional seperti tamong peundang telah lama dikenal. Nama-nama obat seperti on si kuat, on si rapat. on on tungkat alim, on kumih kucing dan on ganceng bajee, adalah senarai nama-nama obat yang cukup handal dalam kamus obat-batan yang merujuk pada kitab Tajul Muluk. Teh Hindon ingat benar ketika masih muda-muda, sang suami menganjurkan untuk meminum rebusan on si rapat dicampur dengan daun sirih, sedang untuk lelaki adalah rebusan on sikuat dicampur dengan pinang muda.

Istilah jamu baru populer dalam dalam lima belas tahun terakhir ini. Lihatlah berapa banyak merek jamu di depot-depot obat dengan berbagai khasiatnya. Lihatlah di jalan-jalan betapa banyak wanita asal Klaten dan Purworejo yang menjajakan jamu di pagi atau sore hari. Jamu plus air campurannya di dalam botol setelah dimasukkan ke keranjang, mereka bawa dari lorong ke lorong dengan cara menggendong. Jamu ini namanya jamu gendong.

Belibat mbak jamu ini pada mulanya terlihat aneh. Sebab, cara menggendongnya beda dengan yang dilakukan wanita Aceh yang menempatkan barang gendongannya di sisi badan sebelah kiri atau kanan. Demikian juga kalau mengendong bayi. Sedangkan bagi wanita- wanita asal Purworejo, Klaten, atau Wonogiri tersebut barang gendongannya ditempatkan di punggung belakang. Ini hampir sama dengan cara menggunakan senjata bagi lelaki. Bila yang namanya rencong diselip di pinggang bagian samping atau depan, sedangkan yang namanya keris terselip di belakang.

Memang lain padang lain belalang. Tujuannya sama: sebuah senjata plus aksesoris dalam berpakaian. Ya, namanya boleh lain-lain, tetapi maksudnya sami mawon. Misalnya lagi ramuan tradisional yang sekarang disebut jamu, pada zaman dulu racikan seperti itu memang sudah ada di lingkungan masyarakat Aceh, sebelum wanita-wanita penggendong itu datang ke mari. Namanya makjun. Mungkin ini istilah yang berasal dari Arab, karena lafalnya memang mirip-mirip ke sana. Cuma entah mengapa, yang namanya makjun semuanya berwarna hitam.

Kini jamu dan obat-obat tradisional mulai digemari lagi. Kabarnya ini pengobatan alternatif, setelah orang merasa putus ada dengan obat patent. Berbagai produk obat-obat tradiosional, baik yang terkemas rapi secara modern maupun yang dibungkus dengan plastik beredar di mana-mana. Juga klinik-klinik pengobatan tradisional telah tumbuh dengan gencarnya. Dengan papan merek dan nama macam- macam, tertera pula puluhan penyakit yang yang mampu disembuhkan. Mulai dari tergilir sampai bengek.

Banyak sekali pasien yang datang untuk mencobanya. Apalagi karena kebanyakan klinik ini memasang iklan di koran dan radio. Cuma, katanya, bunyi iklan tersebut kalah genit dengan bunyi iklan barang-barang modern. Malah iklan obat tradisional atau klinik tradisional, cenderung vulgar. "Itu karena teks iklan tersebut dibuat sendiri oleh pemilik barang atau pemilik klinik. Mereka tidak menyerahkan soal iklan kepada ahlinya," kata Jen- jen jok kepada Syaribanun, ketika mereka membaca beberapa iklan di surat kabar akhir-akhir ini. "Sayang, iklan itu juga dibaca oleh anak- anak. Seharusnya surat kabar yang menerima iklan itu juga slektif. Sebab, koran itu tidak ada batas umur pembaca," kata Syaribanun.

Dia pernah mendengar cerita temannya yang sulit menjawab pertanyaan anak kecil tentang maksud dan arti kata "ereksi' dalam sebuah iklan ahli pengobatan. Juga banyak istilah lain yang menarik perhatian anak-anak dan mereka ingin tahu apa artinya. "Siapa ya, yang ber- tanggung jawab dalam soal-soal begini. Bagaimana kita menjawab pertanyaan tersebut," tanyanya. Pelik, memang!

Kini bersama Teh Hindon wanita itu sedang menuju kedai jamu tradional. "Apakah suamimu mulai harus dibantu dengan jamu,...haaaaa.....," tanya Teh Hindon menggoda, persis di kala mereka memasuki kedai obat. "Untuk apa harus beli jamu. Pakai saja pinang muda alias pineueng keucek," saran makciknya itu. "Bukan jamu itu, bukan. Yang disuruh beli adalah jamu untuk susut perut untuk saya. Bukan untuk suami. Dia hanya mengingatkan saja. Sekarang kan lagi trend orang berbadan lansing. Jamu untuk saya, langsingnya untuk suami, tentu...haaaaa.... ." Keduanya bersiap- siap untuk pulang.

courtesy: www.indomedia.com/serambi/kontras/120/kon3.htm 

Thursday, January 11, 2007

puisi-puisi: di sini, sebuah makna

di sini, sebuah makna

barlian aw

di sini tawa seperti jari terputus
tak bisa menunjuk jidat dan melambai
orang yang ditinggalkan
dalam gumpalan awan

di sini jari seperti lidi yang diserak
tak lagi punya daya sapu magis
yang membentuk sampah kehidupan

di sini kaki-kaki melangkah
sambil menyeret beban waktu
yang terlanjur akrab
dengan juntai kebohongan
sembari mengucapkan selamat pagi
dan selamat malam
pada siapa saja yang menjelma
seperti rajawali tak punya sarang
tak punya dahan

di sini malam seperti periuk
di atas tungku panas
mendidihkan dahaga para pencari cinta

telah kutanya padamu
tentang tebing terjal dan jalan berliku
tapi kau bilang itu hanya dalam ilusi
seorang pengembara
sebelum dia tersesat
di sebuah padang tandus
yang tak diketahui namanya

telah kutanya padamu
kenapa menyeret jantung
jauh ke luar rongga dada
tapi jawabnya hanya satu:
ini permainan
bukan apa

telah kucari tahu
sampai ke ujung pulau
siapa membantai kesetiaan
tapi engkau menghalangi
sembari menyumbat mulutku
dengan perca darah saudara-saudara kita
yang bertahun-tahun menjadikan
belantara sebagai surga tak terkata

ya di sini kita bertutur dengan kata
karena mereka mencari bahasa sendiri
sembari menyuling daun makna
menjadi saripati dusta


banda aceh desember 2006

Wednesday, January 10, 2007

Raja dekat, Tuhan jauh

Oleh: Barlian A.W

”Raja dekat, Tuhan jauh,” kata seorang lelaki membenarkan tindakan yang dilakoninya sa’at bertemu ke Meuligo Aceh. Maka Laksamana Augustin de Beaulieu pun terperangah mendengar kata-kata yang tak pernah disangkanya itu. Ketika Beaulieu bertanya mengapa sepagi itu menghadap sultan, lelaki tadi memberi jawaban yang juga mengagetkan, ”Agar orang lain tidak memfitnah saya kepada sultan, saya harus lebih dulu memfitnah orang lain.”

Augustin de Beualieu, laksamana Perancis, sangat terperanjat menyaksikan perilaku seperti itu di lingkungan Keraton Aceh pada abad 17 lalu. Dia yang tinggal di Aceh selama sebelas bulan - dari Februari 1621 sampai Januari 1622 - mencatat bagaimana orang-orang yang memiliki akses ke meuligoĆ« (istana) selalu memberi konstribusi pemikiran dan informasi kepada sang penguasa, walau dengan cara-cara yang kurang terpuji. Misalnya, setiap hari, pagi-pagi sekali tamu itu tiba di tangga istana. Mereka menghadap raja tak lain untuk menyampaikan berbagai informasi yang - sebagiannya adalah bohong dan sarat fitnah. ”Demi-kian takutnya mereka kepada raja, sehingga jika mereka duga ada orang yang mengganggu dengan cara memfitnah kepada raja -- padahal orang yang dicurigainya tidak bermaksud demikian--maka untuk mengantisipasinya, dia pun lebih dulu memfitnah orang yang diduga akan memfitnahnya,” tulis laksamana.

Kesaksian itu memang kontroversi dengan kesaksian para penulis sejara konvensional lokal tentang Kerajaan Aceh: Sultan-sultan yang amat islami. Nilai-nilai moral memayungi dan mengacuani rakyatnya. Itu amat wajar karena para penulis memiliki ikatan-ikatan primodial dan tanggung jawab moral serta ujud budaya ”daulat tuanku”.

Sejarah berjalan dari sebuah sisi. Maka selalulah sejarah Iskandarmuda adalah sejarah heroisme penaklukkan ke Kerajaan Melaka, Johor, Deli, atau Tiku (Sumatera Barat). Sejarah Iskandarmuda adalah sejarah kemolekan Putroe Phang, gajah-gajah sultan yang setia, serta pembangunan pembagunan Pinto Khop dan Gunongan.

Sejarah kegemilangan Aceh masa lampau adalah sejarah kehebatan sebuah sistem pemerintahan, raja yang adil sebagai pengayom dan pengayem. Sejarah kesultanan Aceh adalah sejarah keharuman mawar yang semerbak dari kisi-kisi istana dan menyebar ke seluruh negeri. Di sana keadilan dan kearifan terpantul dari kebeningan aliran Krueng Daroy di ketiak istana. Makanya, kita agak terkesima membaca cacatan ”orang kafir” ini. Boleh jadi karena kita sudah telanjur tersihir dengan mitos-mitos dalam mengapresiasikan sejarah kegelimangan Aceh yang disimbolkan oleh pemerintahan Sultan Iskandarmuda (1607-1636), yang selalu memperlihatkan wajah putihnya, dan menelungkupkan sisi hitamnya.

Kita boleh curiga dengan catatan Augustin Beaulieu, karena mungkin sengaja menjelek-jelekkan Aceh mengingat dia terlalu lama ”dipermainkan” sultan ketika ingin memonopoli perdangangan rempah-rempah. Kita boleh ragu dengan pandangan seorang Eropa yang dari dulu menyimpan kebencian dan sinisme terhadap Timur.

Tetapi, siapakah yang berani menafikan sebuah dalil sosiologis sejarah bahwa di setiap keadilan selalu bersembunyi ketidaadilan? Siapakah yang bisa menampik bahwa sebagai manusia, seorang raja juga memiliki ambisi, emosi, dan obsesi? Adakah yang tak setuju bahwa di setiap beranda kejujuran senantiasa berjuntai kemunafikan? Tak seorangpun!
Yang kita tahu, riwayat para pembesar selalu menampilkan kebeningan, meskipun sejarah tak selalu mampu menghidangkan kejernihan. Ketika menatap ke dalam telaga sejarah kekuasaan, kita hanya melihat permukaan air yang bening. Kotorannya terendap jauh di bawah. Karena begitu kekarnya kekuasaan --terutama kekuasaan yang feodalistis seperti aceh-- maka tak satu pun tangan bisa mangaduk-aduk air telaga agar kotorannya mengapung, sehingga jelas air telaga itu tak sebening permukaannya. Ketika kekuasaan itu memudar atau tumbang, barulah mengapung ribuan keping kotoran, bahkan kejijikan.

Kalau Augustin Beaulieu yang datang bersama rombongan --dengan tiga kapal masing-masing de Montmorence, de Esperance, dan Hermitage-- kemudian mencatat kekeruhan tersebut agaknya dia tak berniat mengaduk air di kolam kemegahan dan kedaulatan Iskandarmuda. Dia hanya mengrefleksikan ketercengangnya: mengapa di sebuah altar yang berhias permadani kegelimangan, kegagah-beranian, kearifan, dan keadilan para penguasa, juga berkutat gejala dan perilaku raja-raja yang tanpa stempel kesyariatan seperti sebagian raja-raja Eropa abad XI? ”Raja dekat, Tuhan jauh”.

Betapa munafiknya orang-orang yang --mungkin minoritas dan komunitas pada masa itu --dalam anggapan awal Beaulieu adalah refleksi para emir Timur Tengah yang pernah mencengangkan Eropa karena nilai-nilai moral dan etika tinggi.

Betapapun, dia telah menulis. Dan kita membacanya. Lalu ada tiga hal yang bisa kita tarik dari sana. -Pertama, katakanlah Beaulieu tidak jujur. Berarti sejak awal kesejarahan telah ada yang mencoba memberi pernilaian negatif terhadap kultur kekuasaan dan kultur kerakyatan di Aceh. Beliau merupakan awal dari tesis tersebut, yang dalam perjalanan sejarah selanjutnya dilakukan oleh pihak-pihak lain. Dan citra Aceh pun cacat, bahkan tercabik. -Yang kedua, bila yang ditulis sarjana kelahiran Rouen pada 1589 itu benar, maka pernyataan ”Tuhan jauh Raja dekat” tak lain dari antitesis tentang apresiasi dan mitos-mitos selama ini. Bibit kemunafikan --dalam arti sesungguhnya-- bermula tak jauh dari pusat kekuasaan Aceh. -Ketiga, sesungguhnya kebiasaan memfitnah dan laporan ABS (asal bapak senang), AKS (asal kerabat senang), APS (asal pemangku senang) telah dimulai sejak kegelimangan Iskandarmuda --bahkan mungkin jauh sebelumnya.

Gejala fitnah, kemu-nafikan, dan pengkhianatan di lingkungan pembesar Aceh telah berumur lebih dari tiga setengah abad.

Seandainya sampai sekarang gejala tersebut masih terkesan di pusat-pusat kekuasaan di Aceh -- dengan manifestasi dan praktik yang lebih modern-- itu hanya sekadar penyambungan tradisi masa lalu. Tamu di meuligoe tetap ramai. Tapi, masihkah kata-kata ”Raja dekat, Tuhan jauh,” menjadi flatform para tamu penguasa seperti di meuligoe Iskandarmuda tempo hari?
Walaupun ada, Beauliu tak mencatatnya. Sebab, dia telah meninggal di Toulon, selatan Perancis, pada 1637 lalu. Tentang sejauhmana kredibelnya Augustin de Beaulieu, seorang sejarawan terkemuka, Denys Lombard menulis, ”Setelah sumber-sumber dalam bahasa Melayu, tulisan Beaulieu ini merupakan sumber terbaik tentang pemerintahan Sultan Iskandarmuda”.

Courtesy : Serambi Online, 13 September, 1998

Susah Jadi Manusia

Oleh Barlian A.W

Ada kalimat yang sedikit agak jujur: "Susah Jadi Manusia!" Itu diucapkan oleh seekor monyet dalam ekspresi serius. Gambar dan tulisan tersebut terdapat di baliho dan umbul-umblul iklan rokok yang dipajang di seantero kota beberapa tahun lalu. Sinis, dan menggelitik, sekaligus menggugat. Kata itu diikuti oleh kata-kata di umbul-umbul lain: "Silakan Blak-blakan" dan "Bukan Basa Basi"

Kini kalimat "Susah Jadi Manusia" seolah menjadi aktual kembali ketika Presiden Megawati Soekarnoputri melantunkan sebuah kelaimat: "Kalau ditanya mana yang lebih saya sayangi manusia atau binatang, saya katakan saya sayang kedua-duanya." Itu diucapkan di dalam sebuah pertemuan di Banda Aceh pada 7 Maret 2004 lalu, di depan beberapa menteri, anggota parlemen, pejabat Aceh dan sejumlah undangan.

Semula direncanakan kunjungan Megawati itu antara lain untuk meresmikan pertanda dimulainya pembangunan Ladia Galaska --poros jalan yang sesuai namanya dimulai di ketiak Lautan Hindia di kawasan barat-selatan Aceh, melintasi dataran Gayo dan Alas, dan berujung di bibir Selat Melaka, di pantai timur Aceh. Tetapi Megawati hanya meresmikan proyek lain, karena Ladia Galaska masih berbalut kontroversi. Ada yang mengklaim pembangunan jalur jalan itu akan merusak ekosistem Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL).

Konon ribuan makhluk berupa flora dan fauna penghuni taman yang disebut-sebut sebagai paru-paru dunia itu perlu dilindungi. Kita sulit menghitung berapa jumlah batang pohon, berapa jumlah ekor binatang, berapa kepala semut, berapa kepala ular, berapa moncong pelanduk, dan berapa mata monyet yang cemas jika "jadi manusia" seperti di iklan rokok tadi. Namun yang pasti beberapa pihak menentang pembangunan Ladia Galaska, dengan alasan binatang akan terancam, hutan akan punah.

Banjir yang melanda Bahorok Kabupaten Langkat Sumatera Utara dua bulan lalu, dikait-kaitkan dengan Ladia Galaska, meskipun pembukaan jalan itu belum dikerjakan. Sedikit mengada-ada! Pembenaran dan penyalahan telah dimulai oleh mereka yang menentang "pengrusakan lingkungan". Lobi telah jalan begitu intensif. Unit Manajemen Leuser (UML) yang berkantor di Medan dan mendapat upah dari badan internasional tentu harus aktif mempertahankan Leuser. Banyak yang menentang, sampai-sampai anggota parlemen ikut memanfaatkan isu Ladia Galaska untuk kepentingan kursi pada Pemilu ini.

Kita kurang mahfum dengan detail kerusakan lingkungan. Kita kurang tahu bagaimana proses siklus kerusakan flora dan fauna jika jalan sepanjang ratusan kilometer itu jadi dibangun. Kita tidak hafal siapa saja mendukung dan siapa saja menentang secara detail. Kita tidak mampu katagorikan siapa yang benar-benar ikhlas mempertahankan lingkungan, dan siapa saja yang mendukung karena untuk itu mereka dibayar. Kita tak mengerti apakah mereka menentang Ladia Galaska karena secara akademis memang menyalahi norma dan memudaratkan umat manusia, atau karena mereka takut kehilangan pekerjaan jika tidak melakukan hal itu.

Yang kita tahu ialah jalan tembus dengan nama Ladia Galaska bukanlah barang baru. Ia adalah jalur jalan yang pernah dirintis Belanda di masa lalu dan masih ada sampai sekarang sehingga ingin ditingkatkan. Yang kita tahu ialah jalur jalan yang sekarang bernama Ladia Galaska itu telah pernah ditingkatkan di tahun sembilan belas delapan puluhan, dan oleh Gubernur Ibrahim Hasan (waktu itu) diberi nama Jatora atau jalan terobosan antara. Yang kita tahu, pengganti Ibrahim Hasan --Syamsuddin Mahmud-- juga meneruskan program tersebut dengan konsep jalan jaring laba-laba dan sirip ikan.

Kita tahu juga di dua masa kegubernuran itu tidak ada tantangan dan protes sekeras sekarang. Waktu itu UML juga sudah ada, paling tidak di masa Syamsuddin Mahmud. Waktu itu sejumlah orang sudah beberja dan makan gaji dari kocek orang Eropa atas nama Leuser. Itu kita tahu, karena orang-orang kulit putih sering ke luar masuk hutan Aceh Tenggara untuk memotret tumbuh-tumbuhan seperti keuladi bui dan janeng. Mereka juga berhari-hari mengamati binatang khas Leuser -- yang tidak ada lagi di negeri mereka.

Sebagaimana kita tahu, mereka --orang-orang kulit putih itu-- juga tahu bahwa dengan klaim Leuser itu orang Aceh Tenggara dan Gayo Luwes tak bisa berbuat apa-apa. Sebab, untuk menanam jahe dan kemiri di tanah milik nenek moyang, mereka bisa dituduh "mencabuli" hutan suaka. Sebagaimana kita, mereka juga sadar bahwa membatasi hak-hak seperti itu tidak terlalu adil dipandang dari sisi kemanusiaan dan kehidupan. Tetapi mereka harus mempertahankan dan mengawasinya, karena mereka cinta lingkungan, cinta kehidupan, dan cinta humaniora. (Mudah-mudahan bukan karena cinta lembaran Euro, mata uang resmi Uni Eropa).

Mereka --orang-orang Uni Eropa itu-- tahu apa makna Leuser bagi kehidupan umat manusia dan kelestarian lat batat kayee batee (ekosistem). Mereka tahu bahwa 80 persen dari kawasan taman nasional itu berada dalam wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, dan selebihnya berada di wilayah Sumatera Utara, tetapi 90 persen kegiatan manajamen dan kebijaksanaannya dikendalikan di Medan. Mereka tahu dengan klaim taman nasional itu yang terkekang kegiatannya adalah rakyat Aceh, meski yang lebih banyak mendapat keuntungan adalah Sumatera Utara, karena pajak pendapatan pegawai UML dibayar ke Sumatara Utara.

Ya mereka tahu semuanya, seperti halnya kita tahu bahwa sekitar 1,7 juga rakyat di beberapa kabupaten di Aceh akan terus terisolir jika akses jalan sepanjang 504 km itu dibatalkan. Mereka tahu bahwa kehidupan perekonomian rakyat akan bangkit jika sentra-sentra produksi pertanian di kawasan tengah punya hubungan ke kawasan pantai sebagai daerah pemasaran dan jalur untuk eksport. Jika mereka tidak tahu, mana mungkin mereka jauh-jauh datang ke sini dengan alasan melindungi hutan dan lat batat kayee batee.

Semua yang kita tahu, mereka juga tahu. Sebaliknya barangkali banyak yang mereka tahu kita tidak tahu sama sekali karena kita tidak diperkenankan "mendekat" ke sana dengan alasan merusak lingkungan. Misalnya, kita tidak tahu, apa sebenarnya yang terkandung di perut Leuser dan taman nasionalnya selain flora dan fauna, selain bak keluladi bui dan bue kreh. Barangkali di sana ada kandungan emas atau bahan-bahan mineral berharga lainnya. Kita juga tak mungkin tahu suatu ketika secara diam-diam ada orang yang nemambang bahan-bahan itu lalu secara diam-diam dibawa ke luar, karena kita tak bisa menjenguk ke sana.

"Susah jadi manusia!" kata monyet jantan dengan sinis dan barangkali sedang gelisah. Susah jadi manusia, itu aja nggak tau! Yang kita tahu bahwa Presiden Megawati sangat arif ketika pada kunjungan 7 Maret lalu tidak meresmikan Ladia Galaska, namun memberi pernyataan bahwa program tersebut akan diteruskan. Dan di sana ada tepukan gemuruh hadirin. Dan di sana wajah Abdullah Puteh selaku pengaggas dan penabal nama Ladia Galaska terlihat berseri- seri. Juga wajah Muhyan Yunan, sosok yang banyak terlibat dalam mengujudkan impian orang-orang terisolir: Ladia Galaska!

Seperti halnya iklan lain yang dipasang di pinggir jalan dan taman, iklan dengan kalimat "Susah Jadi Manusia" juga berganti. Ada daur dan siklus, seperti halnya pergantian flora dan fauna di kawasan Leuser. Seperti halnya pergantian antara satu penderitaan ke penderitaan lain yang membaluti sekitar 1,7 juta rakyat Aceh karena terkurung di pedalaman akibat tidak punya akses jalan yang memadai.

Kita setuju untuk menjaga lingkungan dan ekosistem. Kita sepakat bahwa orang-utan yang ada di Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) harus dipertahanan dari pepuhanannya. Tetapi itu tidak cukup. Sebab, relakah kita jika jutaan manusia harus terus mengalah dengan orang-utan? Apakah mereka juga harus menjadi "orang-utan" karena kita mengisolasinya demi keselamatan orang-utan yang sebenarnya? Presiden Megawati benar, ketika mengatakan dia sayang kedua-duanya: manusia binatang, namun Ladia Galaska juga diperlukan.

Kini sekitar 1,7 juta manusia perlu dikasihani, di samping kita menyayangi para monyet dan siamang. Kita sadar bahwa sang monyet jauh lebih beruntung dari manusia. Para binatang yang sering menjadi hama bagi manusia itu punya wali dan pembelanya, yaitu orang-orang Eropa dan orang-orang "suruhan"nya. Sedangkan orang- orang pedalaman Aceh yang berdiam dekat hewan yang bernasib baik itu, tidak punya jalan, tidak punya apa-apa, kecuali kemiskinan dan keterasingan. Itulah sebabnya monyet di papan iklan berani mengatakan: "Susah jadi manusia!"

Courtesy: www.indomedia.com/serambi/2004/03/150304opini.htm

Tuesday, January 9, 2007

Mengapa Mustafa Dihujat?


[ penulis: Barlian AW | topik: Pemerintahan ]


Rabu pekan lalu, sejumlah anggota DPRD Aceh mengkritik pedas cara kerja Gubernur Mustafa Abubakar. Malah satu di antara delapan pengkritik itu minta Mustafa segera mundur dari jabatannya sebagai penjabat gubernur. Mereka menilai selama lima bulan kepemimpinannya, Mustafa tak berbuat apa-apa. Dia asyik jalan-jalan ke sana ke mari.

Kritikan ini mengejutkan banyak kalangan mengingat selama ini DPRD hanya memilih diam di tengah-tengah tidak maksimalnya kinerja eksekutif yang ditandai dengan lambannya penanganan berbagai masalah kemasyarakatan. Selama ini seolah eksekutif dibiarkan berjalan sendiri tanpa ada “gangguan” dan teguran, baik dari kalangan DPRD, maupun dari pers. Pekan lalu tampaknya DPRD mulai “mendehem” sedikit.

Mengapa sekarang para anggota dewan itu mulai mengkritik dan menghujat Mustafa? Pertama, dia dinilai kurang konsisten. Tidak sama antara ucapan dengan perbuatannya. Dia mengatakan, para pegawai pemerintah tidak boleh menerima gaji dan honor ganda. Jika seorang pegawai diberikan tugas di luar tugas pokok, dia tidak berhak mendapat honor. Dia dianggap telah digaji oleh pemerintah. Tapi kenyataannya, banyak pegawai yang bekerja rangkap dan mendapat honor ganda, semisal yang ditempatkan di BRR.

Dalam kapasitasnya sebagai gubernur, Mustafa juga adalah Wakil Ketua Badan Pelaksana BRR ––wakil Kuntoro–– dengan gajinya setiap bulan yang kira-kira berkisar Rp 100 juta. Di sini juga orang bertanya, apakah dengan ketentuan seseorang tidak boleh menerima honor rangkap, dia mengambil atau tidak gaji dari BRR itu? Di sini pulalah orang mempersoalkan konsisten tidaknya antara perkataan dengan perbuatan. Untuk tidak menjadi fitnah, Mustafa patut menjelaskan masalah ini kepada publik.

Yang kedua, dia dihujat oleh DPRD karena banyak janji yang tampaknya tak bisa ditepati. Misalnya soal pengungsi, yang menurut dia pada akhir Juni 2006 tidak ada lagi orang di barak ––apalagi––- di tenda-tenda darurat. Dalam kenyataannya, jangankan mengembalikan mereka ke rumah yang dibangun pemerintah, tanah untuk pembangunan rumah saja belum dibebaskan, padahal dana sudah tersedia di BRR. Calon lokasinya telah diajukan, tapi pelaksanaannya tidak jalan. Puluhan ribu orang yang malang itu masih tidur di tenda-tenda dengan suasana yang amat memprihatinkan.

Masalah pengungsi ini menjadi sangat penting di antara tugas-tugasnya yang lain. Sebab, penunjukannya sebagai penjabat gubernur, selain melaksanakan tugas pemerintahan, ada tiga tugas pokok lainnya, yaitu masalah rekonstruksi dan rehabilitasi, masalah reintegrasi, serta masalah pemilihan kepala daerah (Pilkada).

Kalau kita urut-urut, dari ketiga tugas itu, masalah rekonstruksi yang intinya merelokasi pengungsi menjadi amat penting, karena menyangkut masalah kemanusiaan. Anehnya, di tengah-tengah ketidak pastian dan gagalnya mengembalikan pengungsi, dia lebih memilih mengadakan kunjungan dan jalan-jalan ke luar negeri. Seharusnya dia memprioritaskan tugas-tugas di daerah yang memerlukan penanganan serius.

Kenyataan, banyak tugas pembangunan dan pemerintahan yang kececeran. Sejumlah dinas, badan, dan biro tidak ada yang memimpin, karena pejabat bersangkutan telah ditunjuk menjadi penjabat bupati dan walikota. Akibatnya, banyak pekerjaan yang amburadul di instansi atau biro yang ditinggalkan oleh “pimpinan”nya. Tidak ada tanda-tanda dari gubernur untuk mengisi jabatan kosong tersebut dalam waktu dekat.

Seharusnya di kala Aceh memerlukan genjotan dan percepatan pembangunan, semua perangkat tersedia dengan baik. Sekarang ini, banyak urusan yang kurang berjalan sesuai rencana di dinas-dinas/ badan serta biro yang kepalanya telah diangkat sebagai walikota atau bupati. Oleh kalangan DPRD hal ini dianggap sebagai “kelalaian” seorang gubernur, yang mengakibatkan kinerja pemerintahan melorot, dan pelayanan kepada maayarakat tidak maksimal.

Lowongnya jabatan tersebut semakin melengkapi julukan Pemprov NAD sebagai institusi ompong, karena kekurangan gigi. Bayangkan mulai dari gubernur yang statusnya penjabat (pj), sekretaris daerah yang berstatus pelaksana tugas (plt), sampai dengan tugas kepala dinas/badan serta biro yang dilaksanakan oleh orang yang tidak kapabel. Oleh karena itu seharusnya dalam waktu dekat, gubernur cepat mengisi jabatan-jabatan yang kosong ini.

Memamg ada alasan mengapa gubernur tidak mengisi jabatan-jabatan kosong. Rencananya sejumlah dinas/badan serta biro akan diciutkan, sehingga tidak memerlukan banyak orang yang harus ditempatkan untuk mengisinya. Tetapi rencana perampingan ini juga terkendala, karena qanun (peraturan daerah) menyangkut struktur baru tersebut belum dibahas ––apalagi disahkan–– oleh DPRD. Kalangan Dewan menganggap rencana perampingan ini juga sebagai kebijakan yang tergopoh-gopoh, karena tidak dikonsultasikan dahulu. Tiba-tiba saja DPRD telah menerima rancangan qanun untuk minta dibahas.

Satu lagi langkah Mustafa yang sedikit banyaknya membuat sejumlah kalangan tidak nyaman ialah pemberlakuan hari kerja dari enam hari seminggu menjadi lima hari kerja dengan penambahan jam kerja setiap harinya. Pola lima hari kerja telah pernah dilaksanakan suatu ketika dulu di Aceh. Hasil evaluasi menunjukkan pola tersebut tidak sesuai dengan karakteristik Aceh.

Di hari-hari biasa yang jam kantor sampai sore hari, banyak pegawai yang tidak ada kerja, kecuali pejabat dan beberapa orang yang terlibat proyek. Dengan jam kantor yang demikian membuat pegawai harus makan siang di kantor. Ini juga memerlukan kost yang tidak sedikit. Pada hari Sabtu yang diliburkan, pegawai di daerah ini tidak tahu untuk apa dimanfaatkan, sehingga libur itu akan sia-sia. Kondisi di Aceh dengan Jakarta memang beda, tapi kurang dipahami.

Kecuali itu, kebijakan tersebut telah diterjemahkan secara sinis oleh masyarakat. Katanya, libur Sabtu-Minggu lebih karena kepentingan pejabat daripada kepentingan para pegawai pada umumnya. Bagi pejabat tertentu, dengan libur dua hari mempermudah mereka meninggalkan Aceh pada Jumat sore atau Jumat malam untuk terbang ke Jakarta, dan baru ada lagi di Aceh pada Senin pagi. Apalagi rumah dan keluarga pejabat tersebut memang di Jakarta.

Faktor ketiga kenapa Mustafa dihujat oleh kalangan DPRD, karena secara emosional Mustafa tak punya kaitan apa-apa dengan DPRD, baik secara kelembagaan, maupun perorangan. Dia tak punya hubungan dengan partai-partai politik yang berada di DPRD. Dia ditunjuk langsung oleh Presiden RI untuk menjalankan tugas-tugas pemerintahan setelah jabatan gubernur kosong, bukan dipilih atau diajukan oleh partai politik.

Dengan posisi semacam itu Mustafa tidak punya benteng di DPRD Aceh, sehingga dia mudah diserang. Mungkin yang ada sedikit punya hubungan historis hanyalah dengan Partai Golkar. Sebab, secara menyejarah ketika Mustafa menjadi pejabat di Jakarta (di masa Orde Baru), dia otomatis adalah fungsionaris Golkar. Ketika dia ingin ditempatkan di Aceh sebagai pejabat gubernur, beberapa tokoh Golkar di Jakarta ikut mendukung, sehingga “calon” lainnya, Arnis Arsyad yang semula disebut-sebut “segera” dilantik, langsung terpental.

Mungkin karena ada hubungan yang sedikit itu pula maka di antara para penyampai pandangan umum di DPRD yang kemudian melahirkan kritik tajam, hanya Adriman Kimat dari Golkar yang tidak mencerca Mustafa. Sedangkan semua anggota lain dari berbagai partai politik yang tampil di podium menilai Mustafa tidak becus mengurus Aceh, sehingga ada di antara mereka yang meminta mantan Ketua TIM (Taman Iskandar Muda) Jakarta itu segera mundur.

Agar Mustafa “aman” selama berada di Aceh, beberapa langkah perlu diambil. Pertama, dia harus dengan cepat membenah pemerintahan, mengisi jabatan yang kosong, termasuk mengangkat Sekda definitif. Kedua, jangan terlalu mudah membuat statemen, karena sesungguhnya Aceh ini memang berkarakteritik “lain”, kritis dan mudah tersulut.

Ketiga, dia harus membangun jaringan politik dan hubungan personal dengan berbagai kalangan termasuk partai dan tokoh politik. Kita gembira karena Mustafa menyambut semua kritik dengan hati dingin dan lapang dada. Maka untuk itu semua, agar dia sukses sebagai penjabat gubernur dan pejabat publik, agaknya Mustafa tidak terus membiarkan dirinya dikurung dan diisolasi oleh segelintir orang, apalagi orang tersebut terbukti pernah gagal membangun Aceh. Kita tidak berharap di bawah kepemimpinan Mustafa, Aceh tidak menjadi nestafa.


Courtesy: http://www.serambinews.com/index.php?aksi=bacaopini&opinid=559 

Mustafa, Ya Mustafa


[ penulis: Barlian AW | topik: Pemerintahan ]


Mustafa Abubakar dilantik 30 Desember 2005 sebagai Penjabat Gubernur Aceh. Setahun sebelumnya, November 2004, Gubernur Aceh “ditawan” oleh orang-orang Jakarta. Sang Gubernur, Abdullah Puteh, waktu itu ditawan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas tuduhan korupsi.

Dia bisa dikatakan ditawan karena tiba-tiba “diberkas” ketika dia sedang “konsultasi” di Jakarta. Kini, setelah diputuskan bersalah, suami Linda Poernomo itu terpaksa menghabiskan hari-harinya di penjara Cipinang Jakarta. Meuligoe Aceh pun sepi.

Setahun sebulan berselang usai “penawanan” itu, Mustafa masuk Meuligoe Aceh. Mustafa artinya “orang terpilih”. Dia memang terpilih menjadi penjabat gubernur untuk mengisi jabatan lowong sampai ada gubernur defenitif hasil Pilkada (pemilihan kepala daerah).

Mustafa terpilih karena dipilih oleh orang-orang Jakarta. Inspektur Jenderal (Irjen) Departemen Perikanan dan Kelautan ini “menyisihkan” beberapa calon lain, yang konon sebelumnya sudah masuk kantong Mendagri.

Arnis Arsyad yang pada waktu itu sangat dan paling diyakini akan jadi orang nomor satu di Aceh itu harus berpuas diri sebagai salah seorang deputi Menteri Sekretaris Kabinet.

Dibanding dengan Mustafa, nama Arnis Arsyad jauh lebih banyak disebut-sebut dalam proses penggodokan calon Penjabat Gubernur Aceh. Menjelang masa itu Arnis sering pulang ke Aceh ––karena kebetulan bersamaan dengan tugas kedinasannya. Beberapa tokoh Aceh sengaja pergi ke Jakarta bertemu dengannya. Beberapa pengusaha malah pasang iklan ucapan selamat ketika Arnis dilantik jadi deputi menteri. Nama Arnis berkibar.

Jika disiasati iklan ucapan selamat yang dimuat surat kabar itu terkandung dua makna sekaligus. Pertama, bagi pemasang, iklan itu sebagai pertanda mereka berada di “kesebelasan” tersebut. Bila Arnis “pulang” ke Aceh sang pengusaha tidak ketinggalan “kereta api” dan itu erat kaitannya dengan urusan bisnis. Ini sudah sangat lumrah dan lazim bagi dunia sekarang yang penuh dengan ketidakpastian dan sarat dengan basa basi.

Kedua, munculnya iklan itu menjadi bukti bahwa Arnis didukung oleh para tokoh Aceh, terutama pengusaha. Supaya orang-orang Jakarta tahu bahwa dia bukan sembarang orang, sehingga jika sudah ada rencana untuk diangkat sebagai Penjabat Gubernur Aceh, jangan ditunda-tunda lagi. Dan memang Arnis adalah seorang yang punya bobot serta kapasitas dan seorang birokrat handal. Kalau kemudian dia tak jadi “pulang” ke Aceh, itu lantaran Mustafa lah orang “terpilih” sesuai dengan namanya.

Banyak harapan yang dialamatkan kepada Mustafa Abubakar yang kini berada di tampuk pemerintahan Aceh. Dia tidak hanya mempersiapkan Pilkada seperti diamanatkan oleh orang-orang Jakarta, tapi juga mampu menyelesaikan masalah pengungsi dan berani memberantas korupsi. Sebab, pengungsi di tenda-tenda yang sudah setahun lebih adalah bukti ketidakberdayaan pemerintah selama ini. Sedangkan masalah korupsi sudah sangat merajalela di Aceh sampai-sampai gubernurnya kena tawan di Jakarta dengan tuduhan tersebut.

Rupanya gayung pun bersambut. Sehari setelah dilantik, Mustafa langsung mengatakan bahwa masalah korban tsunami akan segera selesai dan menjadi prioritas tugasnya sebagai kepala daerah. Dalam tempo enam bulan tak akan ada lagi tenda-tenda darurat di antero Aceh karena para korban tsunami itu telah setahun lebih hidup dalam penderitaan. Tak ada lagi potret kemanusiaan buram yang terpancar dari tenda-tenda kumal. Marwah ulama Aceh juga harus dipelihara, katanya.

Mustafa benar! Lalu ––ini yang paling idealis dan heroik–– Aceh bebas korupsi, kata Mustafa seperti dilansir sejumlah media. Seperti halnya Kuntoro Mangkusubroto Ketua BRR (Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi) yang alergi terhadap orang-orang korup, Mustafa juga demikian. Janji bahwa di tangan dia Aceh bebas korupsi adalah sebuah statemen paling berani. Sebab hal itu melawan “kodrat” dan bertentangan dengan kultur yang sedang menggejala di tengah-tengah masyarakat.

Terhadap pers agaknya Mustafa juga punya apresiasi sendiri. Di hari-hari awal dia tiba di Aceh setelah dilantik di Jakarta, dia langsung mengadakan coffee morning dengan wartawan. Dia juga minta wartawan untuk mengoreksi jalannya pemerintahan dan kebijakan publik yang dijalankan, baik oleh dirinya maupun instansi tehnis. Sama halnya dengan apa yang dikatakan Abdullah Puteh lima tahun lalu.

“Wartawan adalah mata dan telinga saya,” kata Puteh waktu itu.
Mustafa memang tak pernah mengeluarkan kalimat persis seperti itu. Tetapi dari cara-cara dia bekerja di minggu-minggu pertama terkesan ada rasa ikhlasnya seorang putra Aceh untuk membangun tanah kelahirannya.

Kalau kita agak sedikit selidik, agaknya alumnus IPB ini tak punya pretensi lain, kecuali hasratnya untuk membangun Aceh. Dia jauh dari keinginan mencalonkan diri sebagai gubernur dalam Pilkada yang akan datang. Sebab, selain aturan tak memungkinkan untuk itu, dari segi umur, dia sudah 57 tahun. Sebuah batas usia yang kurang pantas lagi untuk bertarung.

Oleh karena itu, harapan sekitar 4,2 juta rakyat Aceh kepada Mustafa Abubakar sangat tepat dan beralasan. Pascakomplik yang berkepanjangan, Aceh memerlukan seorang pemimpin yang tidak hanya pintar dan jagoan, tetapi juga seorang yang jujur dan memiliki tekad serta komitmen moral untuk membangun daerah. Proses reintegrasi yang belum selesai memerlukan perhatian serius. Sekitar 3.000 mantan anggota GAM tidak bisa dibiarkan begitu saja tanpa konsep dan kebijakan konkret.

Juga proses perampungan RUU PPA (Rancangan Undang Undang Pelaksanaan Pemerintahan Aceh) yang harus selesai 31 Maret 2006 sebagaimana tercantum dalam Nota Kesepahaman Helsinki. RUU tersebut tidak bisa dilepaskan begitu saja meluncur dari Departemen Dalam Negeri (pemerintah) ke DPR. Harus ada deal-deal dan lobi yang musti dilakonkan dengan para politisi di parlemen dan petinggi pemerintahan Jakarta.

Agaknya sebagai birokrat dan mantan Ketua Umum TIM (Taman Iskandar Muda) Jakarta, Mustafa punya kapasitas dan kemauan untuk hal tersebut.
Draft RUU PPA yang telah disusun DPRD Aceh ––sebagai cikal bakal RUU yang akan dibahas DPR–– punya beberapa titik rawan dalam pembahasan di DPR kelak.

Beberapa pasal harus dituntun agar orang-orang Jakarta “mahfum” dengan isi dan semangat yang melandasinya, sehingga nanti UU tersebut punya sinkronisasi dengan MoU Helsinki, tidak bertentangan dengan UUD 1945, dan memuaskan pihak-pihak yang berkepentingan. Dengan lahirnya UU tersebut tidak ada lagi terjadi “khilafiyah” sosial, politik dan ekonomi di Aceh yang melahirkan konflik berkepanjangan.

RUU PPA yang kelak akan disahkan menjadi UU tidak bernasib sama dengan UU nomor 18 tahun 2001 tentang otonomi khusus Nanggroe Aceh Darussalam yang tidak memberi makna dan perubahan signifikan terhadap masa depan Aceh sehingga UU yang dulu diharapkan bisa menjadi obat untuk penyelesaian konflik hanya berhembus bagaikan angin lalu. RUU PPA harus menjamin mentalitas ke-Aceh-an dalam integritas ke-Indonesia-an secara utuh. Agaknya Mustafa punya pemahaman dan kepedulian yang serius untuk itu.

Kepedulian itu harus sama dengan keseriusannya menyangkut masalah pemukiman kembali para korban tsunami untuk mengembalikan martabat kemanusiaan. Pengungsi adalah salah satu masalah dari sekian banyak masalah rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh. Untuk itu Mustafa harus mampu mendorong BRR agar tidak jalan sendiri dengan kelambanannya.

Meski dalam struktur BRR, gubernur adalah wakil ketua di BRR, tatapi sebagai kepala daerah dan penguasa tunggal di Aceh, gubernur harus menjadi “atasan” semua lembaga yang bergerak di Aceh termasuk BRR ––yang konon kedudukannya setingkat menteri.

Ya, Mustafa adalah orang terpilih dan Mustafa adalah sebuah harapan. Aceh bebas korupsi yang dicanangkannya harus konsisten terpelihara. Korupsi adalah bagian dari KKN. Dua saudara korupsi lainnya ialah kolusi dan nepotisme. Adanya berita kecil yang menyebutkan Gubernur NAD “impor” tiga pegawai honorer (Serambi, 16 Januari), amat mengganggu citra Mustafa Abubakar yang ingin memberantas korupsi (juga kolusi dan nepotisme) di Aceh.

Masyarakat berharap Mustafa tidak membiarkan terjadinya korupsi, apalagi ikut korupsi. Amat masygul rasanya orang Aceh kalau gubenurnya kembali “ditawan” seperti yang dialami Abdullah Puteh. Juga bagi orang-orang yang telah mendapat amanah. Mustafa, ya Mustafa!


Courtesy: http://www.serambinews.com/index.php?aksi=bacaopini&opinid=424

NU dan Kaum Sarungan Aceh


[ penulis: Barlian AW | topik: Politik ]


Nahdhatul Ulama (NU) NU selalu jadi menarik dan bahkan bersifat fenomenal. Bukan saja setelah tokoh NU Abdurrahman Wahid berhasil menjadi presiden dan Ketua NU Hasjim Muzadi menjadi calon wakil presiden begandeng dengan Megawati. Sejak lama NU menjadi sesuatu yang menarik dalam dunia perpolitikan Indonesia, sejak Indonesia melaksanakan pemilihan umum (Pemilu) 1955.

Kala itu, tatkala umat Islam dengan berkendaraan Partai Masyumi (Majelis Syu‘ra Muslimin Indonesia) ingin memenangi Pemilu melawan dua partai besar yaitu Partai Nasional Indonesia (PNI) dan Partai Komunis Indonesia (PKI), tiba-tiba NU yang waktu itu berstatus organisasi sosial kemasyarakatan, memutuskan untuk mendirikan partai sendiri dengan nama yang sama. Sejak itulah NU menjadi salah satu partai politik yang berbasis di Jawa. Masyumi sendiri lantas dibubarkan oleh Soekarno bersamaan dengan dibubarkannya Partai Sosialis Indonesia (PSI), di penghujung dekade lima puluhan.

Sampai Pemilu 1971 keberadaan NU cukup signifikan. Partai yang berlambang bola dunia dalam ikatan itu malah secara nasional menempati posisi ketiga setelah Sekber Golkar dan Partai Muslimin Indonesia (Parmusi). Setelah itu, sejarah partai politik di negeri ini berubah. Pemerintahan Seoharto mengeluarkan kebijaksanaan pada tahun 1974 dengan menyederhanakan partai politik, dari 10 partai menjadi hanya tiga partai. NU bergabung dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP) bersama tiga partai Islam lainnya.

Tetapi keberadaan NU di dalam “federasi” PPP selalu saja membuat partai berlambangkan ka‘bah itu “krek krok”. Tokoh-tokoh NU yang ada dalam PPP selalu saja melakukan manuver-manuver politik. Yang terkesan waktu itu pucuk pimpinan PPP yang berasal dari Parmusi senantiasa berhadapan dengan politik NU, yang sulit dikendali. Ini tak lain karena selama sejarah PPP, ketua umumnya selalu saja dari kalangan Parmusi ––yang dalam tubuh Parmusi sendiri banyak didominasi tokoh eks Masyumi, atau yang ada hubungan dengan Masyumi. Berdasarkan sejarah lama, NU dan Masyumi memang tidak bisa berada di bawah sebuah payung.

Sebagaimana kita kemukakan di atas, basis NU adalah Jawa, terutama Jawa Timur dengan pesantren sebagai benteng dan sekaligus lembaga pengkaderannya. Di luar Jawa, NU sedikit lebih berkembang di Kalimantan dan Sulawesi. Di Aceh, NU tidak begitu populer meskipun di awal tahun 1960-an seorang tokoh NU, M Jasin, pernah menjadi Ketua DPRD-GR (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Gotong Royong). Tetapi karena pesantren di Aceh dipelopori oleh Perti, NU di daerah ini kurang memiliki sarana “pengkaderan” sebagaimana NU di Jawa.

Dalam peta Islam tradisional Aceh, selain Muhamadiyah yang berkembang di kota-kota dan beberapa daerah di pantai barat-selatan Aceh yang dibawa perantau Sumatera Barat, apa yang disebut dengan kaum “sarungan” bukanlah NU, tetapi Perti. Apalagi dalam kenyataannya sejumlah pesantren yang tumbuh di Aceh didirikan oleh alumnus Pesantren Labuhan Haji Aceh Selatan asuhan Tgk H Mudawaly, seorang tokoh Perti dan ulama ahlussunnah wal jamaah.

Tampaknya dalam perjalanannya NU di Aceh kurang berhasil merangkul kaum tradisional dan kaum sunny seperti halnya di Jawa, baik sebagai organisasi para ulama, maupun sebagai partai politik (1955-1974). Di bidang politik, dua kali Pemilu ––sekali masa Orde Lama dan sekali masa Orde Baru–– yang diikuti NU sebagai partai, tidak mendapatkan pendukung yang signifikan di Aceh. Karena basis NU adalah Jawa, dan minimnya ulama Aceh yang berasal dari pesantren dari Jawa, membuat NU tidak punya jaringan untuk mengembangkan diri di Aceh, baik sebagai organisasi sosial, lebih-lebih sebagai partai politik.

Dari sisi politik misalnya, ini dapat dilihat pada Pemilu 1971, posisi NU yang berada di bawah peroleh suara Partai Islam Perti, semakin menunjukkan bahwa pengaruh Perti memang lebih merasuk ke rusuk tradisional masyarakat Aceh dibandingkan dengan NU. Padahal secara nasional Perti adalah partai Islam paling “buntut” dalam perolehan suara, baik pada Pemilu 1955, maupun Pemilu 1971, sebelum partai itu juga difusikan dalam PPP.

Itulah maka tatkala Abdurrahman Wahid (Gus Dur) datang ke Aceh pada 1998, sambutan masyarakat biasa-biasa saja, meskipun cucu pendiri NU itu adalah simbol gerakan reformasi bersama-sama Amien Rais dan Megawati. Ketika dia mengaku bisa menyelesaikan konflik Aceh karena dia telah dianggap ’nabinya orang Aceh‘ masyarakat di daerah ini bereaksi keras dan Gus sama sekali hilang “keramat”nya di daerah ini.

Di tengah kondisi yang semakin terseret ke politik ––dan gagal menempatkan Hasjim Muzadi sebagai wapres–– masihkah NU bisa bertahan di Jawa? Apalagi konflik internal antara Gus Dur dengan Hasjim Muzadi semakin jelas dalam Munas di Solo yang sedang berlangsung sekarang ini. Bagi Aceh, siapa pun terpilih sebagai pimpinan NU, tidak ada persoalan.

Sebab, sejarah kaum Islam tradisional Aceh bukan sejarah pasang surutnya NU. Aceh tidak punya kiai, tetapi para teungku. Keduanya sangat beda meskipun sama-sama mempertahankan “tradisi sarungan”.
Kini pun gejala memudarnya NU di Aceh tampaknya akan terus berlanjut. Musyawarah wilayah NU bulan lalu, selain sulitnya mendapatkan kader yang berkaliber, gemanya tidak luas terdengar.

Minimnya dukungan pemilih Aceh yang mendukung Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang didirikan dan dipengurusi tokoh-tokoh NU, membuktikan kesimpulan tersebut. Satu-satunya kursi PKB di DPRD Aceh hasil Pemilu 1999 yang diduduki Afdhal Jasin putra tokoh NU almarhum M Jasin, melayang sudah di Pemilu 2004. Kain sarung tampaknya lebih identik dengan ulama Perti yang masih mendapatkan tempat dalam konfigurasi masyarakat Aceh.


Courtesy: http://www.serambinews.com/index.php?aksi=bacaopini&opinid=196 

Dewan Amplop




[ penulis: Barlian AW | topik: Pemerintahan ]


Di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Aceh ada dua amplop. Pada awalnya amplop adalah pembungkus atau sampul surat yang akan dikirim. Di amplop itulah alamat yang dituju dan alamat pengirim tertera. Di amplop itulah perangko ditempel sebagai “ongkos” yang dipungut kantor pos sebagai jasa antar. Amplop terbuka, perangkonya lebih murah dari amplop tertutup. Dan kemudian amplop lahir dan dibuat dalam berbagai bentuk dan ilustrasinya. Namanya tetap: amplop!

Tetapi kemudian, amplop yang awalnya sampul surat, berubah fungsi dan ––yang celakanya–– mengandung makna konotatif. Amplop menjadi simbol kurang mengenakkan. Amplop seolah sebuah aib yang membuat siapa saja yang mengantonginya menjadi seekor anjing kurap. Mula-mula yang banyak dihubung-hubungkan dengan amplop dan tertempatkan pada posisi yang paling hina adalah wartawan. Namanya: wartawan amplop. Tak dipersoalkan apakah satu amplop atau dabel amplop! Pokoknya wartawan amplop.
Wartawan amplop adalah wartawan “yang diduga” menerima amplop dari nara sumbernya. Padahal secara etik jelas tertera bahwa wartawan tidak dibenarkan menerima sesuatu ––termasuk amplop–– untuk menyiarkan atau tidak menyiarkan sebuah berita. Meski demikian fenomena amplop terus menindih profesi kewartawanan dan dunia pers kita. Memberi sesuatu kepada wartawan seolah menjadi “kewajiban” sumber berita.

Bagi sumber berita terutama mereka yang punya banyak uang, baik pejabat maupun saudagar, memberikan amplop kepada wartawan tertentu memang telah berlangsung lama. Ada yang diberi tanpa diminta, ada yang karena diminta, bahkan ada yang “terpaksa” diberi. Berita tentang pemerasan yang dilakukan wartawan ––bahkan oleh orang yang bukan wartawan namun mengaku wartawan–– sering kita dengar.

Kenapa pejabat atau mengusaha “rela” memberikan amplop (berisi uang) kepada wartawan? Pertama, seperti yang dikemukakan tadi, para wartawan datang dan memintanya dengan mangancam akan membeberkan kasus sang pejabat. Atau dengan modus lain, baik pada hari-hari biasa maupun pada “hari baik bulan baik” seperti hari raya dengan alasan THR (tunjangan hari raya) seperti sekarang ini. Maka di lobi sebuah kantor BUMN di Jawa Tengah yang sering didatangi wartawan terpasang plang bertuliskan: Perusahaan tidak menyediakan THR bagi wartawan. Sakit dan amat memalukan.
.
Kedua, di pejabat atau saudagar memang punya kasus ––misalnya mengkorup uang negara–– dan takut disiarkan pers. Mereka pun menyumbat mulut wartawan dengan amplop. Mereka mudah saja memberikan amplop kepada wartawan atau kalangan lain yang punya hubungan dengan kasus tersebut.

Mereka enak saja memberi karena yang dimasukkan ke dalam amplop bukan hasil penjualan tanah pusaka kakeknya, tetapi uang yang dia korup. Zaman semakin canggih. Untuk memberikan “THR” kepada wartawan, aparat penegak hukum, anggota DPRD, atau lembaga-lembaga tertentu tidak harus melalui amplop.

Banyak pejabat yang mulai menghemat dengan tidak lagi menyediakan amplop. Uang langsung ditransfer ke rekening yang bersangkutan. Seorang pejabat di daerah ini pernah berhemat ketika menyetor sejumlah uang kepada seorang “jaksa” lewat rekening. (Mana mungkin uang yang jumlahnya milayaran rupiah dimasukkan ke dalam amplop, kecuali amplop sebesar kardus). Meski tak pakai amplop, esensinya juga amplop alias sogok.

Penyebab ketiga kenapa ada wartawan amplop, tak lain karena moralitas dan kondisi objektif pers itu sendiri. Cukup banyak perusahaan penerbitan yang tidak menggaji wartawannya secara layak. Malah ada yang tak ada gaji sama sekali. Ada penerbit yang hanya membekali wartawan dan korespondennya dengan kartu pers. Dengan kartu pers itulah sang wartawan menyambung hidupnya –– yang tentu berkaitan dengan belas kasihan “nara sumber” berupa amplop dan lain-lain.

Kalau tanpa gaji, lalu bermodalkan kartu pers sang wartawan mencari makan (baca: amplop) ke sana ke mari, siapa yang salah? Kita harus jujur menyebutkan yang salah adalah bos surat kabar. Mereka tahu bahwa tanpa gaji orang tak bisa hidup. Mereka tahu bahwa dengan demikian “anak buah” nya cenderung melakukan praktik-praktik tidak terpuji, misalnya dengan memeras, atau menyalah-gunakan kartu pers yang dikeluarkan si bos koran.

Realitas ini amat memprihatinkan. Malah cukup banyak pemegang kartu pers adalah mereka yang sama sekali tidak punya kemampuan menulis berita. Banyak pula koran atau majalahnya tak lagi terbit, tapi wartawannya masih punya kegiatan wawancara pejabat. Mereka tetap hadir di acara-acara konperensi pers atau acara buka puasa bersama. Di era tahun delapan puluhan terhadap wartawan ini melekat istilah-istilah sinis: WTS (wartawan tanpa suratkabar), muntaber (muncul tanpa berita), dan wartawan bodrex.

Adanya fenomena seperti itu telah membuat dunia pers sebagai sesuatu yang tidak terlalu membanggakan. Profesi wartawan kadang-kadang sering nyerempet-nyerempet dengan rasa aib dan hina. Di sebuah ruang tunggu seorang pejabat, seorang wartawan bisa saja dianggap faktor pengganggu. Selain pengumunan “tak menyediakan THR” seperti di Jawa Tengah, di hampir semua kantor lain ––lebih-lebih menjelang hari raya–– umumnya pejabat menganggap kedatangan wartawan berkaitan dengan amplop.

Tidak semua wartawan adalah wartawan amplop. Malah sejumlah penerbitan yang mapan dan profesional mengingatkan para pembacanya ––secara tertulis–– bahwa wartawannya sama sekali tidak dibenarkan menerima apa pun dari sumber berita. Juga sebuah stasion televisi yang dengan santunnya menampilkan telop meminta sumber berita untuk tidak memberikan apa pun kepada koresponden dan wartawan televisi tersebut.

Memang dunia pers adalah sebuah dunia yang samar-samar. Banyak kalangan termasuk pejabat yang tidak mengerti apa fungsi pers, sehingga menempatkan pers sebagai faktor pengganggu dan bisa diimbali dengan amplop. Karena samar-samar, banyak wartawan yang hanya bermodalkan kartu pers tidak mengerti fungsi dan kedudukan pers, sehingga sebagai wartawan dia bertindak sebagai penyidik, seorang jaksa, bahkan seorang eksekutor. Dan akibat sering berhadapan dengan wartawan seperti inilah maka seorang pejabat cenderung menjauh, bahkan menganggapnya sebagai hama.

Dunia pers adalah dunia yang samar-samar. Dunia wartawan belum mampu menempatkan para pelakunya pada tangga terhormat. Adanya wartawan profesional yang benar-benar menjalankan tugas jurnalistiknya segera tenggelam dengan populasi wartawan yang sering dikaitkan dengan amplop. Maka seorang ajudan kepala sebuah dinas langsung memberikan amplop tipis kepada setiap wartawan yang ingin mewawancarai bosnya. “Bapak sibuk, lain kali saja,” katanya sambil menyerahkan amplop dengan wajah sinis.

Sekali lagi, si wartawan tak salah. Sistem dan moralitas masyarakat kita yang telah melenceng. Adanya praktek korupsi dan rasa bersalah para birokrat kita telah membuat mereka gamang dan bingung. Ketika ada telpon dari seorang “jaksa” minta pinjam uang, sang pejabat langsung mengirimnya ke rekening “jaksa”. Ketika wartawan mengancam akan menulis kasus penyelewengan yang terjadi di lingkungan sebuah kantor, kepala kantor langsung menelepon “wartawan senior” minta diatur segalanya agar berita tidak muncul.

Di satu sisi, ada kecenderungan para pejabat untuk menyogok, sedangkan di sisi lain ada oknum wartawan yang hanya bermodalkan kartu pers tanpa digaji oleh perusahaan surat kabar tempat dia bekerja. Keduanya bertemu. Di sinilah fenomena amplop dan istilah wartawan amplop mendapatkan lahan yang amat subur. Di sini pulalah para “agen” wartawan menjadi salah salah sub-profesi, di mana seorang wartawan “senior” yang memberi jaminan “keamanan” kepada bos-bos karena dia mengaku mampu mengatur dan mengkordinir rekan-rekannya.

Untuk itu tentu selain beberapa amplop biasa untuk wartawan yang akan diatur, ada sebuah amplop gemuk untuk sang kordinator. Amplop menjadi masalah. Dewan Pers yang berfungsi antara lain mengawasi kode etik, agaknya belum mampu menuntaskannya. Ada aturan agar penerbitan pers harus menggaji karyawan dan wartawannya, belum terlaksana dengan baik.

Masih ada wartawan yang terpaksa hidup dari amplop ke amplop. Amplop (baca: sogok menyogok) masih menjadi bagian dari dinamika kehidupan masyarakat kita. Harus ada badan seperti Dewan Pers yang mengawasi masalah moralitas dan etik profesionalisme, termasuk soal amplop, meskipun tidak harus dinamakan Dewan Amplop. Di mana-mana budaya amplop. Juga di DPRD Aceh yang punya dua amplop. Ini amplop Dewan namanya, bukan Dewan amplop.

Dulu sampai era delapan puluhan, dua amplop itu memang ada, meski tidak dinamakan doble amplop. Hampir semua wartawan juga dapat amplop tersebut. Amplop yang pertama berkop DPRD dari pimpinan Dewan. Amplop kedua dari pribadi anggota Dewan, dengan nama yang dicetak begitu bagus-bagus berisi kartu selamat hari raya.

Sekarang wartawan tak lagi menerima amplop dari DPRD walaupun kita tahu di sana amplop masih berlebih. Itu tak lain karena teknologi semakin canggih. Sekarang kartu lebaran semakin jarang. Gantinya adalah SMS (layanan pesan singkat) di telepon selular dan e-mail. Lebih praktis dan efesien. Kalimatnya tetap sama: Selamat Hari Raya Idul Fitri, Mohon Maaf Lahir Bathin.

Courtesy:
http://www.serambinews.com/index.php?aksi=bacaopini&opinid=167 

Ada Apa Dengan Cina?


[ penulis: Barlian AW | topik: Budaya ]


Sebuah sinetron (sinema eloktronik) di satasion televisi swasta, judulnya amat romantis: Ada Apa Dengan Cinta yang sering disingkat dengan AADC. Ya! Ada apa dengan cinta? Sinetron, cinta, dan Cina sekarang semakin menyatu. Sejumlah bintang sinetron adalah gadis belia keturunan Cina, alias Tionghoa, alias Chinese (baca: Caines).

Era reformasi tidak hanya membolehkan orang-orang Cina di Indonesia merayakan imlek secara terbuka dengan tarian barongsainya. Tetapi juga melahirkan sejumlah bintang dari kalangan Cina.

Tapi jauh sebelumnya, di Aceh “bintang” dari kalangan Caines tersebut telah lahir dan berkiprah. Bagi aktivis Angkatan 66, nama Fransidi begitu melekat. Dialah salah seorang pemuda (waktu itu) keturunan Cina alias Tionghoa di Banda Aceh yang bersama-sama kaum pribumi, tidak sekadar bergaul, tetapi juga ikut berjuang menegakkan Orde Baru. Dia amat dekat dengan almarhum H Di Murthala, tokoh pemuda yang legendaris. Dia boleh dibilang simbol asimilasi dan sekaligus cermin keharmonisan antara kaum Cina dengan orang Aceh.

Tidak hanya Fransidi. Ada orang Cina yang sangat “membumi” dengan nama yang berbau Islam ––membuat kita salah sangka: Si Din! Mirip-mirip Fakhruddin, Nurdin, Nasruddin, atau nama lain yang berujung dengan Din, yang berarti agama atau Ad-Din. Tapi Si Din ini Cina keturunan Khek yang berjualan kelontong di Pantonlabu, Aceh Utara, pada era enam puluhan dan tujuh puluhan. Cara, bahasa, gaya, dan kesehariannya, sungguh sangat Aceh. Kadang-kadang dia juga pakai peci hitam.

Hasil penelitan yang dilakukan A Rani, dosen Fakultas Dakwah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh, menunjukkan hubungan etnik Cina dengan penduduk asli Aceh cukup harmonis, meskipun mereka cenderung mempertahankan identitas ke-Tionghoa-annya (Serambi, 30/8).

Konon, Peunayong itu sendiri berasal dari bahasa Cina yang berubah dengan ciri khas vokal eu. Tapi pasar ini ––terutama pasar sayur–– sedikir didatangi pribumi karena barang-barangnya mahal, setara daya beli orang Cina yang dianggap kaya-kaya.

Dalam pikiran orang awam semua Cina itu kaya. Padahal cukup banyak keluarga Cina yang berdiam di Kampung Mulia dan Kampung Laksana ––tak jauh dari Peunayong–– adalah orang miskin. Mereka bekerja sebagai tukang, atau pembuat tahu.

Dalam masyarakat Aceh, kaya miskin, asal bertemu orang Cina selalu disapa dengan toke. Maka ada Toke Alok, Toke Acai, Toke Alek, atau Toke Asuk
Sapaan toke kita temukan juga dalam “dalil” keseharian masyarakat Aceh. Pertama melalui ungkapan: Aceh teungku, Melayu abang, Cina toke, Kafe tuan. Ini tentu muncul di masa penjajahan Belanda, ketika kita masih “bertuan” dengan Belanda yang oleh orang Aceh dipanggil Kaphe atau kafir (tidak Islam). Dan dalam panggilan toke itu pulalah harmonisasi berlangsung antara orang Aceh dengan orang Cina. Ini terjadi ketika orang-orang kampung “turun” ke kota untuk berbelanja di kedai-kedai milik orang Cina pada hari peukan.

Seperti halnya di Tanah Melayu (Malaysia), orang-orang Cina di Indonesia cenderung tinggal di kawasan kota, meskipun kota kecil. Menurut catatan, hubungan orang Cina dengan Aceh yang dimulai sejak abad 13, semakin berkembang ketika keduanya saling membutuhkan. Sebagai pedagang, orang Cina amat tertarik dengan rempah-rempah yang ada di Sumatera. Mula-mula sekadar singgah, kemudian meretap. Ketika sudah menjadi “penduduk”, yang menggeluti sektor perdagangan, mereka menguasainya dengan baik, mulai perdagangan besar sampai kedai-kedai kelontong dan runcit.

Di Aceh misalnya, keberadaan orang Cina sudah sampai ke kota-kota kecamatan. Malah Cina di kota kecamatanlah yang paling giat berasimilasi. Nama Simbun Sibreh ––sebuah toko P & D terkemuka yang terletak di jantung Banda Aceh–– adalah bukti asimilasi dan adaptasi. Konon nama tersebut diambil dari nama kota kecamatan di Aceh Besar, yaitu Sibreh, tempat sang toke tinggal dan “makan asam sunti” Aceh. Juga Toko Bayu di Jalan Perdagangan Lhokseumawe, milik seorang warga keturunan Cina yang memulai karir dagangnya secara kecil-kecilan di Bayu, ibukota Kecamatan Syamtalira B, kira-kira 16 km tenggara Lhokseumawe.

Berhadapan dengan langganan lamanya, pemilik Toko Simbun di Banda Aceh atau Toko Bayu di Lhokseumawe lebih senang berbahasa Aceh dari bahasa Indonesia, padahal mereka adalah generasi kedua yang tidak pernah tinggal di Sibreh atau Bayu. Sebagaimana orangtua mereka, para toke muda ini menganggap bahasa dan nama dapat memperlancar bisnis mereka. “Orang Cina yang pandai berbahasa Aceh lebih terbuka dan lebih bersahabat dibandingkan dengan etnik Cina yang tidak dapat berbahasa Aceh,” urai Rani tadi.

Sosiolog Unsyiah Ahad Humam Hamid menyebutkan, negeri-negeri maritim seperti Aceh adalah kawasan yang paling subur bagi asimilasi dan adaptasi. Artinya, penduduk asli sangat toleran terhadap pendatang sejauh mereka tidak mengusik kepentingan pribumi.

Asal usul orang Aceh pun, sebenarnya tak bisa lepas dari bertemunya para pelaut yang singgah di daratan Aceh yang kemudian berasilmilasi. Berbeda dengan Cina yang cenderung mempertahankan dan tradisi leluhur, imigran lain seperti India segera memeluk Islam dan kawin dengan pribumi.

Namun salah satu kelihaian orang-orang Cina –– di mana pun–– adalah mengambil hati orang pribumi, tanpa harus kawin atau berpindah agama. Meskipun Islam begitu kuat di Aceh, tetapi tingginya rasa toleransi sebagai penduduk kawasan maritim, membuat orang-orang Cina begitu betah tingal di Aceh, sampai-sampai mereka mendiami kota-kota kecil sepanjang rel kereta api, dari Banda Aceh hingga Kuala Simpang.

Namun demikian, bukan bermakna tak ada “hari buruk” bagi orang Cina. Peristiwa G30S/ PKI tahun 1965, membuat ribuan Cina di Aceh terancam. Selain mereka dituduh dekat dengan PKI, pemutusan hubungan diplomatik antara Indonesia dengan RRT (Republik Rakyat Tiongkok), membuat kaum Cina di berbagai kota besar sampai ke kota kecamatan harus meninggalkan Aceh, setelah berlangsung aksi “ganyang Cina” oleh massa KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia) dan KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia). Eksodus besar-besaran di kalangan kaum Cina pun terjadi. Sampai sekarang Cina eks Aceh tersebut berdiam di Tanjung Mulia, Mudan, jalan arah Belawan.

Krisis politik tahun 1965-1966 juga membuat beberapa aset mereka di Aceh hilang. Misalnya gedung sekolah. Gedung SMA Negeri 2 dan SMP 4 adalah eks sekolah Cina di Banda Aceh. Sama halnya dengan gedung di kawasan Pusong Lahokseumawe yang pernah menjadi SMEA Negeri dan PGA Negeri. Atau Gedung Ampera di jantung Langsa yang juga bernah menjadi SMEA dan Komisariat KAPPI Aceh Timur.

Setelah Orde Baru berkuasa, banyak orang Cina yang berubah nama. Mungkin juga Fransidi yang dekat dengan tokoh Angkatan 66 tadi. Mereka tidak dibolehkan membangun sekolah khusus yang belajar sempoa serta bahasa Cina dengan aksaranya. Setelah kehilangan “habitat” tadi, di Banda Aceh kebanyakan anak Tionghoa ini bersekolah swasta di SMA Methodist di Jalan Pocut Baren, juga SMP Budi Dharma Jalan Iskandarmuda dekat Blangpadang. Jika mereka sekolah negeri, maka SMU Negeri 3 menjadi pilihan. Kalau di perguruan tinggi? Kebanyakan mereka memilih Fakultas Teknik Unsyiah.

Di tingkat nasional, perihal orang-orang Cina yang nasionalis cukup banyak. Dalam senarai Angkatan 66 misalnya, nama-nama Soe Hook Gie dan Soe Hook Gun begitu terkenal. Soe Hook Gie telah almarhum, sedangkan Soe Hook Gun yang berubah dengan nama Indonesia menjadi salah seorang intelektual. Begitu juga dengan Liem Bian Kun dan Liem Bian Kie berganti menjadi Sofwan Wanandi dan Jusuf Wanandi. Jusuf seorang pemikir sedangkan Sofjan menjadi pengusaha. Begitu juga seorang aktivis lainnya karena begitu dekat dengan pribumi akhirnya ––sampai kini –– kita kenal dengan nama Harry Tjan Silalahi.

Di Aceh, tak kita temukan tokoh Tionghoa yang landing seperti Wanandi bersaudara. Atau seperti Arief Budiman, seorang intelektual. Di dunia bisnis tidak banyak orang Cina menjadi pengusaha besar seperti di kota-kota lain. Fransidi pun yang aktivis dan pebisnis sudah hijrah dari Aceh. Kecuali kondisi daerah yang selalu bergolak, orang Aceh sendiri adalah para pedagang ulung yang mampu bersaing dan mengungguli bisnis kaum Cina. Sekitar delapan tahun lalu Gubernur Aceh Syamsuddin Mahmud dan Bupati Aceh Besar Untung Yuwana mengundang investor atau toke Hongkong untuk berbisnis di Pulau Aceh ––gugusan pulau di perairan Aceh Besar. Tapi gagal juga akhirnya.

Meskipun banyak pribumi yang kaya-kaya, mitos Cina kaya dan senang tetap hidup dalam masarakat. Dengan patron bahwa Cina itu kaya-kaya dan senang-senang pula, maka ada pameo bagi orang bangsat dan tidak mau beribadat: Lagee Cina gasien (seperti Cina miskin). Artinya di dunia merana di akhirat pun sengsara. Padahal Cina hanya etnis. Banyak mereka yang Islam dan alim serta taat.

Meskipun ada anjuran agama untuk belajar sampai ke negeri Cina, kita masih punya sisi pandang yang unik terhadap saudara kita ini. Sebenarnya kita harus banyak belajar dari kaum minoritas Cina yang bisa hidup aman sentosa di tengah-tengah mayoritas kaum pribumi. Kita patut membuka kunci: Ada apa dengan Cina? Tanya pada Si Din di Pantonlabu. Kita tidak boleh hanya asyik nonton sinetron AADC alias Ada Apa Dengan Cinta atau mengagumi kemolekan seorang Agnes Monica di senetron yang lain.■


courtesy:http://www.serambinews.com/index.php?aksi=bacaopini&opinid=88

Safiatuddin Sang Penggagas Tamaddun


[ penulis: Barlian AW | topik: Budaya ]


Gubernur Aceh Abdullah Puteh, Selasa (10/8) meresmikan tugu Ratu Safiatuddin di pintu gerbang arena PKA IV Banda Aceh yang juga bernama Taman Ratu Safiatuddin. Siapa sebenarnya Safiatuddin itu?

Perempuan bernama asli Putri Safiah ini adalah satu dari dua anak Sultan Iskandar Muda. Seorang anak Iskandarmuda lainnya, Meurah Pupok, dibunuh karena dituduh berbuat zina. Nama lengkap Safiah setelah ditabal sebagai Ratu menjadi Sri Ratu Tajul Alam Safiatuddin.

Kisah dinobatkan Safiah sebagai Ratu terkait erat dengan krisis kepimpian dalam Kerajaan Aceh. Karena Meurah Pupok telah tiada, untuk pengganti Iskandar Muda terpaksa diangkat Alaidin Mughayatsyah, manantu Sultan. Raja dengan gelar Iskandar Thani ––Iskandar kedua–– ini adalah putra Sultan Ahmad dari Pahang, yang dibawa Iskandar Muda ke Aceh sepulang dari operasi penaklukan Kerajaan Pahang di Sememanjung Malaya. Anak angkat ini lalu dikawinkan dengan putri Iskandar Muda, Safiah.

Hanya lima tahun memerintah, Iskandar Thani meninggal, lalu pada 15 Februari 1641, tiga hari setelah Iskandar Thani mangkat, para pembesar kerajaan dan seorang ulama terkemuka Teungku Abdur Rauf Al-Singkili dalam sebuah musyawarah akhirnya menyepakati istri almarhum, yaitu Putri Safiah sebagai Ratu. Safiatuddin memerintah Aceh selama 35 tahun (1641 sampai 1676).

Seperti pernah disinggung dalam tulisan sebelumnya, periode 35 tahun adalah masa yang sangat lama, melebihi masa kekuasaan Soeharto selama 32 tahun dan Mahathir Muhammad Perdana Menteri Malaysia selama 23 tahun. Tetapi masa 35 tahun bukanlah masa yang tanpa riak dan badai. Ratu menghadapi berbagai protes, baik terhadap kebijakannya, maupun tuntutan kaum oposisi yang tidak setuju pengangkatan Ratu. Mereka ngotot bahwa perempuan tidak boleh menjadi wali ––dalam soal keluarga dan harta–– apalagi untuk menjadi seorang Raja.

Pertentangan tersebut dikabarkan menjadi penyebab terbunuhnya beberapa tokoh besar seperti Nuruddin ar-Raniry dan Teungku Fakih. Ada tuduhan mereka disuruh bunuh oleh Ratu. Namun, sebagian lagi berpendapat malapetaka itu karena balas dendam oleh Hamzah Fansuri bersama murid-muridnya karena sejumlah kitab Sulok karangan Hamzah Fansuri dan teman-temannya dibakar oleh kerajaan.

Namun, karena kecerdikan, ketekunan, pengalaman, dan pendidikannya, Ratu luput dari upaya “kudeta”. Konon lagi dia didukung penuh oleh ulama terkemuka Abdur-Rauf yang juga dikenal dengan nama Teungku Syiah Kuala. Dengan posisi dan komposisi serta kekuatan yang demikianlah Ratu mampu mempersatukan rakyatnya dan bahkan berhasil pula menumpas kekuatan kolonial Belanda di beberapa daerah taklukan Aceh seperti di Tiku, Pariaman, Padang, Salindo, Painan, dan Indra Pura.

Bagi para penentang dia dijadikan Ratu selain karena berdalih agama, juga menganggap perempuan lemah dan tanpa inovasi. Tetapi tak selamanya hal itu benar. Sebagai seorang Ratu, Safiatuddin punya kreatifitas dan inovasi. Dalam politik, dia mampu membentuk visi dan menyatukan rakyat untuk melawan kolonial. Nasinalisme dan doktrin yang ditanam Sang Ratu: wilayah Nusantara adalah milik rakyat yang berada di kawasan ini, sehingga apa pun bentuk pendudukan dan invansi orang-orang Eropa harus ditentang dan dilawan.

Dia melakukan transformasi sistem pemerintahan dengan memperkokoh Balai Mahkamnah Rakyat, yang tidak cuma dianggotai oleh para fukaha, tetapi juga memperbanyak tokoh wanita ––wakil-wakil daerah mukim. Nama-nama mereka ialah: Nyak Bunga, Halifa, Sanah, Munabinah, Siti Cahaya, Mahkiyah, Bukeli, Nyak Ukat, Nyak Puan, Nadisah, Jibah, Uli Puan, Siti Awan, Nyak Angka, Nyak Tampli, Mawar, dan Manis.

Wanita juga diangkat menjadi inspektur, yaitu penjaga dan pengontrol sekeliling istana. Inilah sebenarnya konsep emansipasi yang ril oleh Ratu. Apa yang diperjuangkan kemudian oleh beberapa tokoh yang disebut-sebut sebagai konsep emansipasi, sesungguhnya sangat terlambat. Sebab jauh sebelumnya hal itu telah dicanangkan dan dipraktekkan dalam kenyataan sehari-hari di Kerajaan Aceh.

Kecuali itu ada beberapa lembaga penting lain yang dibentuk. Misalnya Balai Laksamana berfungsi sebagai pelaksana tugas-tugas pemerintahan atau badan eksekutif yang secara khusus menangani hal-hal yang berkenaan dengan urusan perang dan persenjataan. Lalu, Balai Fardah untuk masalah finansial, pajak, dan mata uang. Sedangkan Balai Musyawarah merupakan badan legislatif.

Safiatuddin juga amat berperan memajukan ekonomi pada masanya. Dia mengumpulkan mata uang dirham lama yang dipakai masa Sultan sebelumnya untuk diganti dengan mata uang dirham baru. Mata uang baru itu mempunyai sisi yang berbeda, yaitu pada sisi muka tertulis nama Paduka Seri Sultanah Tajal-Alam. Sedangkan pada sisi sebelah lagi tertulis Safiat al-Din Syah. Banyaknya jumlah uang yang dikeluarkan oleh kerajaan erat kaitannya dengan ditemukannya tambang emas di beberapa daerah di Aceh, karena mata uang itu terbuat dari emas.

Kecuali itu, dalam sisi tamaddun dan peradaban ada yang paling penting yang harus dicatat menyangkut reputasi Sang Ratu. Di masa Safiatuddin berlangsung sebuah upaya pengembangan ilmu pengetahuan dan penyebaran ajaran agama Islam ke seluruh Asia Tenggara. Dia juga yang membiayai dan mengirim para ulama untuk belajar ke luar negeri. Sepulangnya, ulama tersebut diminta untuk menulis buku atau kitab. Abdur Rauf al Singkili menulis kitab yang dijadikan pedoman umat Muslim di Asia Tenggara dari dulu hingga kini. Kitab tersebut berjudul Mir´at al tullab fi Tashil Ma´rifat Ahkam al-Syar´iyyah lial Malik al Wahhab. Isinya berkenaan dengan hukum dan sumber karya pertama dalam bahasa Melayu yang selesai tahun 1663.

Selain Abdur Rauf al Singkili, Nuruddin Ar-Raniry juga seorang ulama yang sangat produktif. Dia menulis kitab yang menyangkut sastra, agama, hukum, dan ilmu-ilmu lain yang dibutuhkan waktu itu. Di antara kitab yang yang sangat terkenal adalah Shirathul Mustaqim, Bustanul Salathin fi Dikril Auwalin wal Akhirin, Jawarul Ulum fi Kasyfma´lum, Syaiful Quttub, Hujjatul Shiddiq, Al-fathul Mubin Al Muhiddin, dan Kaifiyatul Shalat.

Dari hasil karya para ulama tersebut mencerminkan betapa hebatnya peran dan pengaruh kekuasaan Safiatuddin pada saat itu. Seandainya Safiatuddin bukan seorang yang hebat dan menghargai pengetahuan, dia tidak mampu menjadi pendorong bagi para ulama dalam menghasilkan karya-karya tulis besarnya. Apalagi pada saat itu fasilitas (seperti komputer, mesin ketik dan transport, dll) tidak tersedia sama sekali. Apa yang dihasilkan para ilmuan masa itu bisa jadi mampu mengalahkan para ilmuan kita masa kini, meski institusi pengajian tinggi kita disebut-sebut sudah cukup maju.

Di bidang agama, peran Ratu Safiatuddin juga sangat signifikan terutama dalam rangka mengembangkan Islam di luar Aceh. Safiatuddin mengirim ulama-ulama Aceh ke negeri Siam (Thailand), misalnya, guna melaksaakan misi dakwah untuk penduduk yang belum atau baru memeluk Islam.

Dengan peran seperti itu agaknya kita patut menempatkan Safiatuddin tidak hanya sebagai seorang Ratu yang mampu bertahan selama 35 tahun. Tetapi yang lebih penting ialah sang Sultanah ini telah meletakkan dasar-dasar dan tradisi keilmuan sebagai pilar peradaban bagi masyarakat Aceh pada waktu itu, yang bias dan gemanya masih terasa hingga kini. Dan karena bias itulah maka Aceh dicatat sebagai pusat ilmu pengetahun, cikal bakal kesusastraan Melayu, dan juga cermin dari sebuah kemajuan kaum perempuan di Nusantara.

Untuk mengungkapkan dan menempatkan keagungan itu, agaknya sesuatu yang monumental diperlukan pada masa ini. Kalau kemudian sebuah taman yang dipilih untuk mengenang nama dan jasa Ratu Safiatuddin, maka itu pun sebuah pilihan tepat bagi Gubernur Abdullah Puteh selaku penggagas PKA IV dan Marlinda Abdullah Puteh sebagai pemrakarsa penabalan nama Safiatuddin.

Itu menjadi pas karena Sang Ratu adalah penggagas tamaddun dan penganjur tradisi keilmuan yang mampu memberi spirit bagi generasi kini dan mendatang. Safiatuddin ratu nyang ceudah, keurajeuen luwah raya lagoina. Lhee ploh limong thon geumat peurintah, taman nyang indah ta tueng pusaka.

courtesy: http://www.serambinews.com/index.php?aksi=bacaopini&opinid=47 

Jen-jen Jok: Geudam Geudum Tambo Jipeh...


Di mana-mana terdengar orang berbincang perihal kuweh muweh. Di mana-mana orang berbicara soal baju anak-anak yang kadang telah terbeli, dan sebagian belum terbeli. Kesulitan ekonomi akibat sulitnya mencari uang di tengah badai dan petir, ikut mempengaruhi masyarakat dalam menyambut Idul Fitri kali ini. Sebagian memegang prinsip nibak putoh bahle genteng, yang penting ada walau ala kadarnya.

Yang terpenting, zakat fitrah bisa tertunaikan.
Ya, hari hari raya segera tiba! Maka Syaribanun pun teringat akan lirik lagu Aceh: Si gantang dua gantang/ Breuh bie ngon leukat adang/ Top teupung peugot keu timphan/ Woe bak tuan uroe raya..... Tak ada rencana memang dia akan pulang ke rumah mertua dengan membawa timphan, karena dia tidak punya lagi mertua. Dia cuma pada hari raya, punya rencana setelah sembahyang Ied, ingin ke rumah ibu mertua suami. Ibu mertua suami? Ya, ibu mertua suami artinya ibu Syaribanun sendiri. Dan untuk itu dia perlu membuat timphan. Bagaimanapun sulitnya, bagaimanapun pacekliknya, timphan tak boleh tidak ada di hari raya.

Memang sekarang orang seolah lupa ikhwal timphan ini, setelah orang tak pernah tahu lagi ada pepatahnya yang menyatakan, peunajoh timphan piasan rapa-i. Orang-orang Aceh sekarang sudah ikut-ikutan bikin lontong untuk hari raya dan mengabaikan timphan. Untuk praktisnya menyediakan lontong boleh-boleh saja, tapi tak boleh tanpa timphan. Jangan sampai lontong bisa menjadi pengganti timphan. Jika timphan telah diganti lontong sama artinya dengan rapa-i boleh berganti gamelan, sama artinya dengan seudati bisa diganti dengan wayang. Tragis bukan?

"Sekarang di kota-kota, walaupun itu keluarga Aceh tok-tok, seolah hari raya identik dengan lontong. Ini salah kaprah," nasihat Jen- jen Jok. Jangan mengikut arus, lagee leumo kap situek. Meu eu-eu kap ya kap semua. Banyak orang kita yang lagee leumo kap situek. Tidak hanya soal lontong tadi. Tapi ada lain, misalnya ketika mend- engar orang mengucapkan kata sholat, dia pun bilang sholat untuk kata sembahyang. Padahal yang benar ialah "shalat" yang berasal dari bahasa Arab. Orang kita sekarang biar dikira modern dan terpelajar suka bilang: "Saya mau umroh ke Tanah suci". Padahal yang benar ialah umrah yaitu pergi Baitullah di luar musim haji.
"Mana ada dalam bahasa Arab bunyi konsunan o, yang ada ialah a. Wee jipoh mim kiwieng bareh um, ra dipoh ha ateueh bareh rah, umrah....! Habis perkara. Jangan sampai menukar kata shalat menjadi sholat, umrah menjadi umroh hingga menyusahkan lidah waktu menguca- pkannya," kata Jen-jen Jok suatu sore menjelang buka puasa, ketika seorang pegawai kantoran mengatakan dengan bangga bahwa bossnya sedang umroh bersama keluarga. "Apa itu umroh? Apa meu-uroh lagee leumo gadoh kawan watee luwah blang," katanya lagi, mempertegas. Agak sinis, memang! Tapi, itu harus sekali-sekali agar tidak telanjur enak.

Penjajahan budaya selama bertahun-tahun telah membuat masyarakat jadi latah, dan kadang-kadang melupakan nilai-nilai yang benar. Sebuah iklan di radio pemerintah yang memberi informasi kepada masyarakat Aceh ikhwal ada beras murah dari Dolog Aceh, nyaris kehilangan makna akibat sang pembuat iklan tidak mengerti kultur Aceh. Tak ada penjelasan sama sekali apa itu OPK yang terkait dengan beras yang konon berharga murah itu.

Kita masih sangat senang dengan akronim-akronim, semisal OPK itu. Padahal di kampung-kampung orang sedang sangat trauma kalau dituduh GPK yang kedengarannya tak jauh dengan OPK. Juga adanya anjuran bahwa untuk memperoleh beras OPK itu harus berurusan dengan kelurahan, kenapa tidak dengan keuchik atau kepala kampung.

Kelurahan adalah sebuah nama dan sistem yang telah membunuh adat dan reusam Aceh. Kelak, di Aceh takkan lagi yang namanya kelurahan sebagaimana dimaksudkan dalam UU Nomor 5 tahun 1979, produk Orde Baru itu. Tetapi, Dolog Aceh tak bisa memahaminya, sehingga iklan yang bertujuan baik ini --dengan menjual beras murah Rp 1.000 per kilogram-- pesannya sama sekali tidak sampai kepada masyarakat.

"Rakyat yang tinggal di kampung, bukan di kelurahan tak akan mungkin memperoleh beras murah itu, karena di tempat mereka tinggal tak ada kantor lurah untuk mereka mendaftar," kata seorang sahabat Jen-jen Jok sambil menambahkan: "Itu belum lagi dia dituduh OPK, atau OTK alias orang-orang tak dikenal, yang populer selama ini," tambahnya. Memang komunikasi yang salah telah membuat rakyat bertahun-tahun seolah tak merasa memiliki apapun yang datang dari atas.

Akibatnya banyak orang yang mendengar adanya iklan berulang-ulang itu tak berani mengambil beras. "Tapi jangan khawatir," kata Jen- jen Jok, "Meskipun tak banyak yang membeli, tapi program ini akan sukses. Sebab, namanya saja beras murah, bisa banyak peminat lain. Jangankan itu. Dulu kedele yang seharusnya diperuntukkan untuk bibit bantuan untuk petani, bisa jatuh ke pabrik tempe," kata Jen- jen Jok lagi.

Syaribanun tak berkomentar soal ini. Sebab, yang sedang dalam pikirannya ialah bagaimana dalam keadaan prihatin sekarang, hari raya bisa disambut secara khidmad. Dengan uang yang pas-pasan, kebutuhan bisa terpenuhi, minimal kebutuhan pokok. "Ya, timphan masuk pokok secara duniawi di hari raya. Secara ukhrawi, ya menunaikan zakat fitrah. Keluarga Jen-jen Jok telah pun menyelesaikan zakat di malam dua puluh tujuh Ramadhan.

Dari radio transistor tua, terdengar lamat-lamat suara penyanyi Ahmad Jais: Selamat hari raya/ Aidil Fitri mulia/ Ampun maaf dipinta/ Mensuci semua dosa/ Setahun menghilang.....? Sekarang menjelang..../ Selamat....selamat.../ Selamat hari raya..... Sebuah lagu lama yang sangat populer sejak tahun enam puluhan. Selepas lagu itu, Syaribanun kembali melantunkan dengan gaya meujangeunnya: Si gantang dua gantang/ Breuh bie ngon leukat adang/ Top teupong peugot keu timphan/ Woe bak tuan uroe raya.....

Namanya juga meujangeun, tentu tak didengar orang lain, termasuk sang suami yang duduk hanya beberapa depa darinya. Syaribanun teringat ibunya yang akan menunggu anak-anak dan para cucu di hari raya. Dia membayangkan seusai makan juadah, mereka sama-sama akan pergi menziarahi kuburan sang ayah. Sebuah tradisi yang menyimbolkan bahwa yang namanya orangtua, meskipun telah meninggal, tetap harus dikunjungi di hari baik bulan baik, seperti pada Idul Fitri kali ini. Geudam geudum tambo jipeh, sang kajadeh uroe raya.....Barlian A.W


Orang Jawa Bicara Aceh


Kuntoro! Jelas dari namanya dia orang Jawa, bukan orang Aceh. Lengkapnya Kuntoro Mangkusubroto. Tapi dia sangat “fasih” dan “shahih” berbicara tentang Aceh. Tentang masa lalu Aceh yang gilang gemilang, terutama ketika Aceh diperintah oleh Iskandarmuda pada abad ke 17 dan jauh sebelumnya.

Dia bukan ahli sejarah. Tapi dia bicara tentang sejarah dan kebesaran raja-raja masa lalu. Dia adalah Ketua Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh -Nias. Katanya, ketika orang Jawa belum tahu apa-apa, orang Aceh telah memiliki peradaban yang begitu dahsyat. Kerajaan Aceh telah memiliki mata uang dari emas dan perak. “Kalau tidak punya teknologi dan kepandaian yang memadai, tak mungkin mereka bisa mengukir perak menjadi mata uang. Ini jelas sebuah loncatan peradaban, dan itu dimiliki oleh orang-orang Aceh,” katanya ketika memberi sambutan pada sebuah acara kesenian di Anjong Monmata, Banda Aceh, 1 April lalu.
Banyak orang yang tak menyangka kalau seorang Kuntoro, seorang insinyur, dan orang Jawa pula begitu mengerti tentang Aceh. Dia dengan lancar berbicara tentang tari seudati dan kesenian rapai geleng. Dia berbicara tentang akar budaya Aceh, dalam konteks kekinian jika dilihat dari kesenian dan benda-benda budaya yang menjadi peninggalan sejarah. Dia memberi sebuah pemikiran untuk mengkaji ulang kapan seudati yang heroik itu lahir. “Apakah telah ada sejak masa Iskandarmuda, atau diciptakan kemudian oleh para seniman, untuk merefleksikan dan mengekspresikan sebuah kegagahan dan kecemerlangan masa lalu?” katanya dengan nada tanya.

Kita terkesima mendengar “gugatan” tersebut. Sebab, tak banyak leteratur yang berbicara tentang seudati, meski sering disebut bahwa seudati adalah the mother of Aceh‘s art atau induk kesenian Aceh. Juga Syeh Lah Geunta, tokoh seudati yang malam itu tampil memukau di depan Kuntoro ––juga Sardono W Kusumo, seorang profesor tari dan Rektor IKJ–– dan ratusan hadirin, mungkin tak bisa menjelaskan apakah di masa Iskandarmuda, atau di masa Sri Ratu Safiatuddin kesenian itu sudah ada apa belum.

Yang banyak kita tahu bahwa seudati berasal dari kata syahadatin. Ia dikembangkan untuk menjadi media dawah dan syiar Islam. Yang banyak kita tahu bahwa seudati begitu diminati orang Aceh dan pernah diundang oleh Presiden Soekarno untuk memeriahkan acara pembukaan Ganefo di awal paruh tahun enampuluhan. Dan Syeh Ampon Mae pun menggemparkan Gelora Bung Karno waktu itu. Yang kita tahu kemudian Syeh Lah Geunta diundang ke Bercelona, Spanyol di era sembilan puluhan. Kalau tarian-tarian Aceh banyak yang heroik itu karena karakteristik orang Aceh memang demikian yang dibentuk oleh alam dan masa lalunya.

Kerajaan Aceh adalah kerajaan maritim dengan bandarnya yang terletak di tepi pantai dan muara sungai. Berbeda dengan Kerajaan Mataram di Jawa yang bersifat agraris sehingga menghasilkan kesenian Jawa yang agraristik pula. Sebagaimana halnya Kejayaan Sriwijaya atau Kerajaan Melayu Melaka, Kerajaaan Aceh adalah sebuah kawasan yang amat terbuka, sehingga membuat semua orang singgah yang kemudian “kerkahwin” dan “bermastautin” di Aceh. Maka keseniannya pun ada kemungkinan diadopsi dari luar, bawaan para pedagang yang menyinggahi bandar-bandar di Kerajaan Aceh, baik Kerajaan Aceh Darussalam, maupun Kerajaan Samudra Pase.

Menurut sosiolog Ahmad Humam Hamid, dari awal masyarakat Aceh adalah masyarakat megapolit sehingga menghasilkan sebuah budaya yang unik, dan sangat terbuka terhadap pengaruh asing. Sejak awal budaya Aceh dibentuk dari proses akulturasi dari berbagai budaya yang singgah bersama kedatangan para pedagang dari negeri lain di daratan Asia. Telaah terhadap orang Aceh dan budaya Aceh adalah telaah yang memerlukan kehati-hatian, karena sebetulnya yang disebut Aceh asli adalah orang-orang yang mendiami pedalaman Aceh seperti orang Gayo dan Alas. Sedangkan Aceh pesisir adalah sebuah proses campur baur yang kurang pas untuk mengklaim diri sebagai orang Aceh.

Secara akedemik orang Jawa yang paling banyak bicara tentang Aceh adalah Prof Husien Djajadininggrat. Dia menulis buku tentang Aceh, tentang masa lalu Aceh lengkap dengan sosiologis masyarakatnya. Di luar itu amat terbatas, kecuali beberapa penulis asing, sehingga sangat sedikit orang yang tahu secara mendasar tentang Aceh. Kalau orang kemudian mengenal Aceh karena di negeri ini banyak hal yang terjadi. Perang dengan Belanda, perang saudara, atau karena peristiwa tsunami pada akhir 2004 lalu.

Kalau orang bertepuk tangan setiap kali menyaksikan tari saman atau seudati, yang tampil di luar Aceh, bukan karena orang-orang yang umumnya bukan orang Aceh itu mengerti tentang kedua tari itu. Yang mereka tepuk-tangankan adalah penampilannya yang dinamis dan heroik. Juga tentang sejarah Aceh. Orang banyak mengidentikkan masa lampau Aceh adalah sebuah masa lalu yang “keras” karena sepanjang sejarah Aceh selalu berjalan dalam kancah peperangan. Pertikaian mewarnai permadani sejarah negeri ini. Juga kegagahberanian para pahlawan nasional asal Aceh, yang kemudian membuat Belanda sulit menaklukkan Aceh. Selama 35 tahun Belanda berada di Aceh tak sedetik pun mereka duduk dengan tenang. Selalu saja ada perlawanan dari rakyat.

Itu masa lalu yang telah surut ke belakang. Tapi Kuntoro mengatakan: “Jangan terlalu lama menoleh ke belakang, nanti leher kita sakit!” Jangan terlalu asyik dengan masa lalu. Sekali-kali boleh. Tetapi yang lebih penting adalah menatap masa depan. Sebab, terlalu lama memandang ke masa lampau boleh jadi akan terlihat hal-hal yang tak seharusnya dilihat. Akan tampak hal yang tidak mengenakkan. Kuntoro mengurut sejarah masa lalu dengan membuat perbandingan-perbandingan yang faktual.

Ada kisah menarik yang dikatakan oleh orang Jawa tentang orang Jawa. Ya, Kuntoro tadi, ketika dia mengatakan, di waktu Laksamana Cheng Ho mendarat di Jawa dia menemukan sesuatu yang tak mengenakkan menurut kita sekarang. Memang ada sisi-sisi yang kurang sedap ketika kita membayangkan masa lalu yang gegap gempita dan penuh kecemerlangan. Tapi sebagai orang Jawa, Kuntoro berbicara jujur tentang orang Jawa –– leluhurnya–– dengan mengutip pengakuan Cheng Ho.

Konon, katanya, ketika Cheng Ho sampai di tanah Jawa, dia mendapati Raja Jawa dengan kukunya yang hitam dan rambut acak-acakan. Pokoknya seorang raja yang kumuh. “Padahal sebelumnya, orang-orang Aceh telah berhasil membuat mata yang dari perak,” katanya. Ada dua hal yang ingin dipetik dari pengakuan Kuntoro malam itu.
Pertama sebuah realitas tentang “kemajuan” (atau kemunduran) Jawa dimana rajanya masih kumuh ketika orang-orang di Aceh telah duluan maju sampai berhasil membuat uang dari emas dan perak. Kedua, tentang kecemerlangan Aceh dengan sultan-sultannya yang perkasa, dengan peninggalan sejarahnya yang melimpah ruah, apakah berupa benda budaya, apakah berupa kesenian, atau dengan nilai-nilai yang melekat sehingga membentuk perilaku dan karakteristik orang Aceh.

Banyak orang yang menyangka orang Jawa seperti Kuntoro tak mengerti tentang Aceh. Maka salah satu alasan beberapa kalangan kecil yang dahulu menolak Kontoro sebagai Ketua BRR, karena mereka menganggap orang yang layak menjadi ketua lembaga tersebut adalah orang yang mengerti dan paham tentang Aceh. Malah yang lebih spesifik lagi, ada anggapan orang yang mengerti tentang Aceh adalah orang Aceh, sehingga yang paling cocok menjadi Ketua BRR adalah orang Aceh, bukan Kuntoro.

Ternyata anggapan bahwa Kuntoro tidak mengerti Aceh, menjadi keliru tatkala dia bicara panjang lebar tentang Aceh. Ketika dia memberi apresiasi tantang masa lalu dan memproyeksikan bagaimana ke depan Aceh harus dibangun, yang menurutnya tidak hanya dibangun secara fisik, tetapi juga memerlukan pembangunan di bidang kebudayaan. Sebab, sekali lagi, kebesaran Aceh adalah kebesaran masa lalu, dengan latar belakangnya yang unik. Tetapi terlalu lama menoleh ke belakang juga sebuah pekerjaan yang tidak baik. Kita bisa sakit leher. Sekali-sekali boleh lihat ke belakang ntuk mengenang kebesaran, kemudian tataplah masa depan dengan pasti. Adakah selama ini kita terlalu banyak menoleh ke belakang, sehingga membuat tubuh Aceh pegal-pegal yang terasa pedih dan nyeri?

Penulis adalah wartawan Serambi Indonesia dan pemerhati budaya.