Oleh: Barlian A.W
”Raja dekat, Tuhan jauh,” kata seorang lelaki membenarkan tindakan yang dilakoninya sa’at bertemu ke Meuligo Aceh. Maka Laksamana Augustin de Beaulieu pun terperangah mendengar kata-kata yang tak pernah disangkanya itu. Ketika Beaulieu bertanya mengapa sepagi itu menghadap sultan, lelaki tadi memberi jawaban yang juga mengagetkan, ”Agar orang lain tidak memfitnah saya kepada sultan, saya harus lebih dulu memfitnah orang lain.”
Augustin de Beualieu, laksamana Perancis, sangat terperanjat menyaksikan perilaku seperti itu di lingkungan Keraton Aceh pada abad 17 lalu. Dia yang tinggal di Aceh selama sebelas bulan - dari Februari 1621 sampai Januari 1622 - mencatat bagaimana orang-orang yang memiliki akses ke meuligoë (istana) selalu memberi konstribusi pemikiran dan informasi kepada sang penguasa, walau dengan cara-cara yang kurang terpuji. Misalnya, setiap hari, pagi-pagi sekali tamu itu tiba di tangga istana. Mereka menghadap raja tak lain untuk menyampaikan berbagai informasi yang - sebagiannya adalah bohong dan sarat fitnah. ”Demi-kian takutnya mereka kepada raja, sehingga jika mereka duga ada orang yang mengganggu dengan cara memfitnah kepada raja -- padahal orang yang dicurigainya tidak bermaksud demikian--maka untuk mengantisipasinya, dia pun lebih dulu memfitnah orang yang diduga akan memfitnahnya,” tulis laksamana.
Kesaksian itu memang kontroversi dengan kesaksian para penulis sejara konvensional lokal tentang Kerajaan Aceh: Sultan-sultan yang amat islami. Nilai-nilai moral memayungi dan mengacuani rakyatnya. Itu amat wajar karena para penulis memiliki ikatan-ikatan primodial dan tanggung jawab moral serta ujud budaya ”daulat tuanku”.
Sejarah berjalan dari sebuah sisi. Maka selalulah sejarah Iskandarmuda adalah sejarah heroisme penaklukkan ke Kerajaan Melaka, Johor, Deli, atau Tiku (Sumatera Barat). Sejarah Iskandarmuda adalah sejarah kemolekan Putroe Phang, gajah-gajah sultan yang setia, serta pembangunan pembagunan Pinto Khop dan Gunongan.
Sejarah kegemilangan Aceh masa lampau adalah sejarah kehebatan sebuah sistem pemerintahan, raja yang adil sebagai pengayom dan pengayem. Sejarah kesultanan Aceh adalah sejarah keharuman mawar yang semerbak dari kisi-kisi istana dan menyebar ke seluruh negeri. Di sana keadilan dan kearifan terpantul dari kebeningan aliran Krueng Daroy di ketiak istana. Makanya, kita agak terkesima membaca cacatan ”orang kafir” ini. Boleh jadi karena kita sudah telanjur tersihir dengan mitos-mitos dalam mengapresiasikan sejarah kegelimangan Aceh yang disimbolkan oleh pemerintahan Sultan Iskandarmuda (1607-1636), yang selalu memperlihatkan wajah putihnya, dan menelungkupkan sisi hitamnya.
Kita boleh curiga dengan catatan Augustin Beaulieu, karena mungkin sengaja menjelek-jelekkan Aceh mengingat dia terlalu lama ”dipermainkan” sultan ketika ingin memonopoli perdangangan rempah-rempah. Kita boleh ragu dengan pandangan seorang Eropa yang dari dulu menyimpan kebencian dan sinisme terhadap Timur.
Tetapi, siapakah yang berani menafikan sebuah dalil sosiologis sejarah bahwa di setiap keadilan selalu bersembunyi ketidaadilan? Siapakah yang bisa menampik bahwa sebagai manusia, seorang raja juga memiliki ambisi, emosi, dan obsesi? Adakah yang tak setuju bahwa di setiap beranda kejujuran senantiasa berjuntai kemunafikan? Tak seorangpun!
Yang kita tahu, riwayat para pembesar selalu menampilkan kebeningan, meskipun sejarah tak selalu mampu menghidangkan kejernihan. Ketika menatap ke dalam telaga sejarah kekuasaan, kita hanya melihat permukaan air yang bening. Kotorannya terendap jauh di bawah. Karena begitu kekarnya kekuasaan --terutama kekuasaan yang feodalistis seperti aceh-- maka tak satu pun tangan bisa mangaduk-aduk air telaga agar kotorannya mengapung, sehingga jelas air telaga itu tak sebening permukaannya. Ketika kekuasaan itu memudar atau tumbang, barulah mengapung ribuan keping kotoran, bahkan kejijikan.
Kalau Augustin Beaulieu yang datang bersama rombongan --dengan tiga kapal masing-masing de Montmorence, de Esperance, dan Hermitage-- kemudian mencatat kekeruhan tersebut agaknya dia tak berniat mengaduk air di kolam kemegahan dan kedaulatan Iskandarmuda. Dia hanya mengrefleksikan ketercengangnya: mengapa di sebuah altar yang berhias permadani kegelimangan, kegagah-beranian, kearifan, dan keadilan para penguasa, juga berkutat gejala dan perilaku raja-raja yang tanpa stempel kesyariatan seperti sebagian raja-raja Eropa abad XI? ”Raja dekat, Tuhan jauh”.
Betapa munafiknya orang-orang yang --mungkin minoritas dan komunitas pada masa itu --dalam anggapan awal Beaulieu adalah refleksi para emir Timur Tengah yang pernah mencengangkan Eropa karena nilai-nilai moral dan etika tinggi.
Betapapun, dia telah menulis. Dan kita membacanya. Lalu ada tiga hal yang bisa kita tarik dari sana. -Pertama, katakanlah Beaulieu tidak jujur. Berarti sejak awal kesejarahan telah ada yang mencoba memberi pernilaian negatif terhadap kultur kekuasaan dan kultur kerakyatan di Aceh. Beliau merupakan awal dari tesis tersebut, yang dalam perjalanan sejarah selanjutnya dilakukan oleh pihak-pihak lain. Dan citra Aceh pun cacat, bahkan tercabik. -Yang kedua, bila yang ditulis sarjana kelahiran Rouen pada 1589 itu benar, maka pernyataan ”Tuhan jauh Raja dekat” tak lain dari antitesis tentang apresiasi dan mitos-mitos selama ini. Bibit kemunafikan --dalam arti sesungguhnya-- bermula tak jauh dari pusat kekuasaan Aceh. -Ketiga, sesungguhnya kebiasaan memfitnah dan laporan ABS (asal bapak senang), AKS (asal kerabat senang), APS (asal pemangku senang) telah dimulai sejak kegelimangan Iskandarmuda --bahkan mungkin jauh sebelumnya.
Gejala fitnah, kemu-nafikan, dan pengkhianatan di lingkungan pembesar Aceh telah berumur lebih dari tiga setengah abad.
Seandainya sampai sekarang gejala tersebut masih terkesan di pusat-pusat kekuasaan di Aceh -- dengan manifestasi dan praktik yang lebih modern-- itu hanya sekadar penyambungan tradisi masa lalu. Tamu di meuligoe tetap ramai. Tapi, masihkah kata-kata ”Raja dekat, Tuhan jauh,” menjadi flatform para tamu penguasa seperti di meuligoe Iskandarmuda tempo hari?
Walaupun ada, Beauliu tak mencatatnya. Sebab, dia telah meninggal di Toulon, selatan Perancis, pada 1637 lalu. Tentang sejauhmana kredibelnya Augustin de Beaulieu, seorang sejarawan terkemuka, Denys Lombard menulis, ”Setelah sumber-sumber dalam bahasa Melayu, tulisan Beaulieu ini merupakan sumber terbaik tentang pemerintahan Sultan Iskandarmuda”.
Courtesy : Serambi Online, 13 September, 1998
Wednesday, January 10, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment