Tuesday, January 9, 2007

Orang Jawa Bicara Aceh


Kuntoro! Jelas dari namanya dia orang Jawa, bukan orang Aceh. Lengkapnya Kuntoro Mangkusubroto. Tapi dia sangat “fasih” dan “shahih” berbicara tentang Aceh. Tentang masa lalu Aceh yang gilang gemilang, terutama ketika Aceh diperintah oleh Iskandarmuda pada abad ke 17 dan jauh sebelumnya.

Dia bukan ahli sejarah. Tapi dia bicara tentang sejarah dan kebesaran raja-raja masa lalu. Dia adalah Ketua Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh -Nias. Katanya, ketika orang Jawa belum tahu apa-apa, orang Aceh telah memiliki peradaban yang begitu dahsyat. Kerajaan Aceh telah memiliki mata uang dari emas dan perak. “Kalau tidak punya teknologi dan kepandaian yang memadai, tak mungkin mereka bisa mengukir perak menjadi mata uang. Ini jelas sebuah loncatan peradaban, dan itu dimiliki oleh orang-orang Aceh,” katanya ketika memberi sambutan pada sebuah acara kesenian di Anjong Monmata, Banda Aceh, 1 April lalu.
Banyak orang yang tak menyangka kalau seorang Kuntoro, seorang insinyur, dan orang Jawa pula begitu mengerti tentang Aceh. Dia dengan lancar berbicara tentang tari seudati dan kesenian rapai geleng. Dia berbicara tentang akar budaya Aceh, dalam konteks kekinian jika dilihat dari kesenian dan benda-benda budaya yang menjadi peninggalan sejarah. Dia memberi sebuah pemikiran untuk mengkaji ulang kapan seudati yang heroik itu lahir. “Apakah telah ada sejak masa Iskandarmuda, atau diciptakan kemudian oleh para seniman, untuk merefleksikan dan mengekspresikan sebuah kegagahan dan kecemerlangan masa lalu?” katanya dengan nada tanya.

Kita terkesima mendengar “gugatan” tersebut. Sebab, tak banyak leteratur yang berbicara tentang seudati, meski sering disebut bahwa seudati adalah the mother of Aceh‘s art atau induk kesenian Aceh. Juga Syeh Lah Geunta, tokoh seudati yang malam itu tampil memukau di depan Kuntoro ––juga Sardono W Kusumo, seorang profesor tari dan Rektor IKJ–– dan ratusan hadirin, mungkin tak bisa menjelaskan apakah di masa Iskandarmuda, atau di masa Sri Ratu Safiatuddin kesenian itu sudah ada apa belum.

Yang banyak kita tahu bahwa seudati berasal dari kata syahadatin. Ia dikembangkan untuk menjadi media dawah dan syiar Islam. Yang banyak kita tahu bahwa seudati begitu diminati orang Aceh dan pernah diundang oleh Presiden Soekarno untuk memeriahkan acara pembukaan Ganefo di awal paruh tahun enampuluhan. Dan Syeh Ampon Mae pun menggemparkan Gelora Bung Karno waktu itu. Yang kita tahu kemudian Syeh Lah Geunta diundang ke Bercelona, Spanyol di era sembilan puluhan. Kalau tarian-tarian Aceh banyak yang heroik itu karena karakteristik orang Aceh memang demikian yang dibentuk oleh alam dan masa lalunya.

Kerajaan Aceh adalah kerajaan maritim dengan bandarnya yang terletak di tepi pantai dan muara sungai. Berbeda dengan Kerajaan Mataram di Jawa yang bersifat agraris sehingga menghasilkan kesenian Jawa yang agraristik pula. Sebagaimana halnya Kejayaan Sriwijaya atau Kerajaan Melayu Melaka, Kerajaaan Aceh adalah sebuah kawasan yang amat terbuka, sehingga membuat semua orang singgah yang kemudian “kerkahwin” dan “bermastautin” di Aceh. Maka keseniannya pun ada kemungkinan diadopsi dari luar, bawaan para pedagang yang menyinggahi bandar-bandar di Kerajaan Aceh, baik Kerajaan Aceh Darussalam, maupun Kerajaan Samudra Pase.

Menurut sosiolog Ahmad Humam Hamid, dari awal masyarakat Aceh adalah masyarakat megapolit sehingga menghasilkan sebuah budaya yang unik, dan sangat terbuka terhadap pengaruh asing. Sejak awal budaya Aceh dibentuk dari proses akulturasi dari berbagai budaya yang singgah bersama kedatangan para pedagang dari negeri lain di daratan Asia. Telaah terhadap orang Aceh dan budaya Aceh adalah telaah yang memerlukan kehati-hatian, karena sebetulnya yang disebut Aceh asli adalah orang-orang yang mendiami pedalaman Aceh seperti orang Gayo dan Alas. Sedangkan Aceh pesisir adalah sebuah proses campur baur yang kurang pas untuk mengklaim diri sebagai orang Aceh.

Secara akedemik orang Jawa yang paling banyak bicara tentang Aceh adalah Prof Husien Djajadininggrat. Dia menulis buku tentang Aceh, tentang masa lalu Aceh lengkap dengan sosiologis masyarakatnya. Di luar itu amat terbatas, kecuali beberapa penulis asing, sehingga sangat sedikit orang yang tahu secara mendasar tentang Aceh. Kalau orang kemudian mengenal Aceh karena di negeri ini banyak hal yang terjadi. Perang dengan Belanda, perang saudara, atau karena peristiwa tsunami pada akhir 2004 lalu.

Kalau orang bertepuk tangan setiap kali menyaksikan tari saman atau seudati, yang tampil di luar Aceh, bukan karena orang-orang yang umumnya bukan orang Aceh itu mengerti tentang kedua tari itu. Yang mereka tepuk-tangankan adalah penampilannya yang dinamis dan heroik. Juga tentang sejarah Aceh. Orang banyak mengidentikkan masa lampau Aceh adalah sebuah masa lalu yang “keras” karena sepanjang sejarah Aceh selalu berjalan dalam kancah peperangan. Pertikaian mewarnai permadani sejarah negeri ini. Juga kegagahberanian para pahlawan nasional asal Aceh, yang kemudian membuat Belanda sulit menaklukkan Aceh. Selama 35 tahun Belanda berada di Aceh tak sedetik pun mereka duduk dengan tenang. Selalu saja ada perlawanan dari rakyat.

Itu masa lalu yang telah surut ke belakang. Tapi Kuntoro mengatakan: “Jangan terlalu lama menoleh ke belakang, nanti leher kita sakit!” Jangan terlalu asyik dengan masa lalu. Sekali-kali boleh. Tetapi yang lebih penting adalah menatap masa depan. Sebab, terlalu lama memandang ke masa lampau boleh jadi akan terlihat hal-hal yang tak seharusnya dilihat. Akan tampak hal yang tidak mengenakkan. Kuntoro mengurut sejarah masa lalu dengan membuat perbandingan-perbandingan yang faktual.

Ada kisah menarik yang dikatakan oleh orang Jawa tentang orang Jawa. Ya, Kuntoro tadi, ketika dia mengatakan, di waktu Laksamana Cheng Ho mendarat di Jawa dia menemukan sesuatu yang tak mengenakkan menurut kita sekarang. Memang ada sisi-sisi yang kurang sedap ketika kita membayangkan masa lalu yang gegap gempita dan penuh kecemerlangan. Tapi sebagai orang Jawa, Kuntoro berbicara jujur tentang orang Jawa –– leluhurnya–– dengan mengutip pengakuan Cheng Ho.

Konon, katanya, ketika Cheng Ho sampai di tanah Jawa, dia mendapati Raja Jawa dengan kukunya yang hitam dan rambut acak-acakan. Pokoknya seorang raja yang kumuh. “Padahal sebelumnya, orang-orang Aceh telah berhasil membuat mata yang dari perak,” katanya. Ada dua hal yang ingin dipetik dari pengakuan Kuntoro malam itu.
Pertama sebuah realitas tentang “kemajuan” (atau kemunduran) Jawa dimana rajanya masih kumuh ketika orang-orang di Aceh telah duluan maju sampai berhasil membuat uang dari emas dan perak. Kedua, tentang kecemerlangan Aceh dengan sultan-sultannya yang perkasa, dengan peninggalan sejarahnya yang melimpah ruah, apakah berupa benda budaya, apakah berupa kesenian, atau dengan nilai-nilai yang melekat sehingga membentuk perilaku dan karakteristik orang Aceh.

Banyak orang yang menyangka orang Jawa seperti Kuntoro tak mengerti tentang Aceh. Maka salah satu alasan beberapa kalangan kecil yang dahulu menolak Kontoro sebagai Ketua BRR, karena mereka menganggap orang yang layak menjadi ketua lembaga tersebut adalah orang yang mengerti dan paham tentang Aceh. Malah yang lebih spesifik lagi, ada anggapan orang yang mengerti tentang Aceh adalah orang Aceh, sehingga yang paling cocok menjadi Ketua BRR adalah orang Aceh, bukan Kuntoro.

Ternyata anggapan bahwa Kuntoro tidak mengerti Aceh, menjadi keliru tatkala dia bicara panjang lebar tentang Aceh. Ketika dia memberi apresiasi tantang masa lalu dan memproyeksikan bagaimana ke depan Aceh harus dibangun, yang menurutnya tidak hanya dibangun secara fisik, tetapi juga memerlukan pembangunan di bidang kebudayaan. Sebab, sekali lagi, kebesaran Aceh adalah kebesaran masa lalu, dengan latar belakangnya yang unik. Tetapi terlalu lama menoleh ke belakang juga sebuah pekerjaan yang tidak baik. Kita bisa sakit leher. Sekali-sekali boleh lihat ke belakang ntuk mengenang kebesaran, kemudian tataplah masa depan dengan pasti. Adakah selama ini kita terlalu banyak menoleh ke belakang, sehingga membuat tubuh Aceh pegal-pegal yang terasa pedih dan nyeri?

Penulis adalah wartawan Serambi Indonesia dan pemerhati budaya.

No comments: