Tuesday, January 23, 2007

Oleh-oleh Untuk Bu Guru

 Hati Syaribanun berbunga-bunga. Kali ini bukan karena dia mendapat
pujian ketika dia menghidangkan makanan kesukaan suami, atau ketika
dia berpakaian aduhai. Rasa bahagia wanita penuh pesona itu tersangkut
paut dengan anaknya. Nyak Banta dan Rabumah masih tetap mampu menjaga
dan menghadirkan kebahagian bagi kedua orangtua mereka. Rapor sekolah
pada kuartal ini lumaian baik. Angkanya bagus-bagus.

"Saya belum juga dapat ranking mak," kata Rabumah tatkala ingin
menyerahkan rapornya. Serta merta sang ayah menukas: "Menjadi juara
penting, tapi yang terpenting kalian bisa menguasai pelajaran. Karena
untuk memperoleh ranking di sekolah juga dibutuhkan kemam- puan lain.
Misalnya dikenal baik oleh sang guru." Jen- jen jok diam dan menarik
nafas. Matanya menarawang. "Ayahmu ini tak kenal dengan gurumu, karena
kalian sekolah jauh di sana. Coba kalau kamu sekolah di sini, pasti
kamu dapat ranking," katanya.

Jen- jen jok terus berbicara soal sekolah. Syaribanun telah memegang
rapor anaknya. Betapa terkejutnya dia ketika melihat di kolom-kolom
bawah tertera perihal prestasi Rabumah. "Apa juga kamu bilang tidak
dapat ranking. Ini kan rangking dua," kata Syaribanun agak menggugat.
"Begini mak. Saya cuma ingin mengetes, apakah kalau kami tak dapat
rangking ayah dan mak akan marah," jelas Rabumah. Sang abang, Nyak
Banta mendekat sambil menyodorkan rapor. "Ayahmu ini tak perlu lagi
dites. Berbagai tes telah ayah jalani, termasuk tes akad nikah di
Kuakec ketika ingin kawin dengan mamakmu dulu," kata Jen- jen jok.
Keempat anak beranak itu tertawa lepas.

Sejak dulu, terhadap anak-anaknya --seperti juga dirinya- bagi Jen-
jen jok ada atau tidaknya dapat ranking, bukan segala-galanya. Ukuran
ilmu itu bukan pada angka-angka. Angka-angka secara aksiomatis memang
menunjukkan nilai dan kepastian. Tetapi angka- angka juga tidak
menjamin sebuah kebenaran. Angka bisa ditulis. Angka bisa dihapus.
Angka bisa diubah. Tapi kemampuan ril seseorang tidak bisa
dimanipulasi," kata Jen- jen jok. Dia teringat angka- angka di kantor
desa yang dibuat menurut kebutuhan. Kalau ingin mengambil banyak dana
IDT, ya buat saja angka orang miskin lebih banyak. Kalau yang
diperlukan untuk penilaian kemajuan desa, angka orang miskin harus
kecil, sedangkan hal-hal yang baik harus lebih besar.

"Apakah ayah tak percaya dengan angka-angka di rapor yang dibuat guru
kami?," tanya Nyak Banta sedikit kritis. "Saya percaya. Dibanding yang
lain-lain, angka-angka seorang guru jauh lebih valid, lebih bisa
dipercaya, meskipun kita tak boleh selalu terpaku pada angka-angka.
Bagi ayah, jika disuruh pilih untuk menjadi pemimpin, misalnya menjadi
keuchik, saya akan pilih seorang guru," kata Jen- jen jok. "Brok-brok
sidroe guru, meusigeutu jeuet keu peunawa," tambahnya. Jen- jen jok
menjelaskan bahwa kedudukan seorang guru sama dengan kedudukan
orangtua kita. Makanya dikatakan: Ayah ngon poma seureta gure, ureueng
nyan ban lhee tapeumulia. Meunyo na salah meuah talakee, akhirat
teuntee meuteu- mee pahla.

Nyak Banta dan Rabumah dengan tekun mendengar dan menyimak petuah sang
ayah. Mereka menghayati makna dan kedudukan seorang guru dalam
kehidupan yang sedang mereka lakoni. Syaribanun juga. Wanita itu
teringat beberapa sosok yang pernah menularkan ilmu kepadanya. Mulai
dari teungku di rumoh beuet yang mengajarkan mukaddam hingga guru-guru
di SR dan tsanawiyah, serta guru dari ibu-ibu PKK yang mengajarkan
keterampilan membuat boneka.

Jen- jen jok lantas menceritakan bagaimana pahitnya kehidupan guru
sejak dulu sampai sekarang. "Dulu seorang guru sangat dihormati.
Pertama karena dia memiliki ilmu dan mengajarkannya kepada orang lain.
Yang kedua sosoknya yang sederhana, ikhlas dan penuh ketela- danan,"
katanya. Dia mengisahkan bagaimana di tahun enampuluhan seorang guru
SR hanya bergaji cukup untuk membeli dua kilogram gula, itu pun
kadang-kadang diterimanya tiga bulan sekali. Tak ada tunjangan
apa-apa. Karena itu pulahlah di kampung-kampung rakyat membantu guru
melalui organisasi POMG (Persatuan Orangtua Murid dan Guru) dengan
menyumbang satu naleh padi setiap kali panen.

Dia ingat sosok Pak Raman yang mengajar pagi sore dengan jalan kaki
sejarak 10 km. Pernah Pak Raman terlambat datang dan anak-anak hampir
pulang. Keterlambatannya sampai di sekolah bukan karena punya
pekerjaan sampingan, tetapi karena dia harus menunggu baju- nya kering
di tali jemuran. Pak Raman, seingat murid-muridnya hanya punya satu
baju putih mirip Ero, tetapi bukan merek Ero. Tak mungkin seorang guru
mampu membeli mereka yang sering dipakai oleh kalangan ambtenar itu.
Celananya dari kain Puplin warna gelap sehingga tidak mudah kelihatan
kotor.

"Kalau sekarang pakaian guru bagus-bagus," kata Rabumah. "Ya, sekarang
kan lain, gaji guru sudah agak memadai," sambung Jen- jen jok. Rabumah
menceritakan kebanyakan yang berpakaian bagus --malah kelewat bagus--
adalah ibu guru, bukan bapak guru. Malah ada yang berbaju sutera dan
sepatu kualitas papan atas. Tetapi menurut Jen- jen jok, pakaian bagus
ibu guru itu bukan semua dibeli dengan uang gaji. Kebanyakan guru
wanita di kota-kota adalah istri orang besar, semisal istri Bapak
Kepala. "Kasihan memang ibu guru yang suaminya biasa-biasa saja," kata
Syaribanun mengenang temannya seorang guru SD yang gajinya habis
dipotong untuk kredit sepeda motor. "Saya pernah menghadiahkan
sepasang sepatu kepadanya, krena sepatu dipakai terkopek berat ketika
sedang mengajar," kisah Syaribanun.

"Bagus, kalau mak menghadiahkan sepatu untuk guru," kata Rabumah. dia
menceritakan di sekolahnya, hadiah orangtua murid diberikan waktu naik
kelas. Atau seusai libur panjang sebagai oleh-oleh murid. Di
sekolah-sekolah favorit, muridnya anak orang kaya yang senantiasa
pergi ke Jakarta atau kota lain waktu liburan panjang. Pulangnya bawa
oleh-oleh untuk guru. "Itu bagus, pertanda murid dan orangtuanya
menghargai jasa guru," kata Jen- jen jok.

"Tapi ayah, kadang-kadang banyak juga murid miskin yang jadi minder
karena tak mampu memberi hadiah. Mereka seperti kita juga tidak pernah
liburan ke luar kota waktu liburan panjang," kata Nyak Banta. Jen- jen
jok terenyuh. Dia berdoa semoga kelak bersama keluarganya bisa
berlibur ke luar kota, dan pulang bawa oleh-oleh untuk guru
anak-anaknya. Dia berjanji, bahwa oleh-oleh itu bukan semacam
pengumuman bahwa mereka baru pulang dari jalan-jalan.
Dia juga berharap, ada atau tidaknya oleh-oleh itu tidak akan
berpengaruh pada angka rapor, meskipun dia tetap berprinsip bahwa
angka-angka itu bukan segala-galanya. Di luar matahari semakin lelah.
Jen- jen jok menikmati hirupan terakhir teh manisnya. Sayup- sayup
suara azan Ashar terdengar.

courtesy: www.hamline.edu/apakabar/basisdata/2000/11/04/0012.html
                  Tabloid KONTRAS (Aceh) No. 109

No comments: