Tuesday, January 9, 2007
NU dan Kaum Sarungan Aceh
[ penulis: Barlian AW | topik: Politik ]
Nahdhatul Ulama (NU) NU selalu jadi menarik dan bahkan bersifat fenomenal. Bukan saja setelah tokoh NU Abdurrahman Wahid berhasil menjadi presiden dan Ketua NU Hasjim Muzadi menjadi calon wakil presiden begandeng dengan Megawati. Sejak lama NU menjadi sesuatu yang menarik dalam dunia perpolitikan Indonesia, sejak Indonesia melaksanakan pemilihan umum (Pemilu) 1955.
Kala itu, tatkala umat Islam dengan berkendaraan Partai Masyumi (Majelis Syu‘ra Muslimin Indonesia) ingin memenangi Pemilu melawan dua partai besar yaitu Partai Nasional Indonesia (PNI) dan Partai Komunis Indonesia (PKI), tiba-tiba NU yang waktu itu berstatus organisasi sosial kemasyarakatan, memutuskan untuk mendirikan partai sendiri dengan nama yang sama. Sejak itulah NU menjadi salah satu partai politik yang berbasis di Jawa. Masyumi sendiri lantas dibubarkan oleh Soekarno bersamaan dengan dibubarkannya Partai Sosialis Indonesia (PSI), di penghujung dekade lima puluhan.
Sampai Pemilu 1971 keberadaan NU cukup signifikan. Partai yang berlambang bola dunia dalam ikatan itu malah secara nasional menempati posisi ketiga setelah Sekber Golkar dan Partai Muslimin Indonesia (Parmusi). Setelah itu, sejarah partai politik di negeri ini berubah. Pemerintahan Seoharto mengeluarkan kebijaksanaan pada tahun 1974 dengan menyederhanakan partai politik, dari 10 partai menjadi hanya tiga partai. NU bergabung dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP) bersama tiga partai Islam lainnya.
Tetapi keberadaan NU di dalam “federasi” PPP selalu saja membuat partai berlambangkan ka‘bah itu “krek krok”. Tokoh-tokoh NU yang ada dalam PPP selalu saja melakukan manuver-manuver politik. Yang terkesan waktu itu pucuk pimpinan PPP yang berasal dari Parmusi senantiasa berhadapan dengan politik NU, yang sulit dikendali. Ini tak lain karena selama sejarah PPP, ketua umumnya selalu saja dari kalangan Parmusi ––yang dalam tubuh Parmusi sendiri banyak didominasi tokoh eks Masyumi, atau yang ada hubungan dengan Masyumi. Berdasarkan sejarah lama, NU dan Masyumi memang tidak bisa berada di bawah sebuah payung.
Sebagaimana kita kemukakan di atas, basis NU adalah Jawa, terutama Jawa Timur dengan pesantren sebagai benteng dan sekaligus lembaga pengkaderannya. Di luar Jawa, NU sedikit lebih berkembang di Kalimantan dan Sulawesi. Di Aceh, NU tidak begitu populer meskipun di awal tahun 1960-an seorang tokoh NU, M Jasin, pernah menjadi Ketua DPRD-GR (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Gotong Royong). Tetapi karena pesantren di Aceh dipelopori oleh Perti, NU di daerah ini kurang memiliki sarana “pengkaderan” sebagaimana NU di Jawa.
Dalam peta Islam tradisional Aceh, selain Muhamadiyah yang berkembang di kota-kota dan beberapa daerah di pantai barat-selatan Aceh yang dibawa perantau Sumatera Barat, apa yang disebut dengan kaum “sarungan” bukanlah NU, tetapi Perti. Apalagi dalam kenyataannya sejumlah pesantren yang tumbuh di Aceh didirikan oleh alumnus Pesantren Labuhan Haji Aceh Selatan asuhan Tgk H Mudawaly, seorang tokoh Perti dan ulama ahlussunnah wal jamaah.
Tampaknya dalam perjalanannya NU di Aceh kurang berhasil merangkul kaum tradisional dan kaum sunny seperti halnya di Jawa, baik sebagai organisasi para ulama, maupun sebagai partai politik (1955-1974). Di bidang politik, dua kali Pemilu ––sekali masa Orde Lama dan sekali masa Orde Baru–– yang diikuti NU sebagai partai, tidak mendapatkan pendukung yang signifikan di Aceh. Karena basis NU adalah Jawa, dan minimnya ulama Aceh yang berasal dari pesantren dari Jawa, membuat NU tidak punya jaringan untuk mengembangkan diri di Aceh, baik sebagai organisasi sosial, lebih-lebih sebagai partai politik.
Dari sisi politik misalnya, ini dapat dilihat pada Pemilu 1971, posisi NU yang berada di bawah peroleh suara Partai Islam Perti, semakin menunjukkan bahwa pengaruh Perti memang lebih merasuk ke rusuk tradisional masyarakat Aceh dibandingkan dengan NU. Padahal secara nasional Perti adalah partai Islam paling “buntut” dalam perolehan suara, baik pada Pemilu 1955, maupun Pemilu 1971, sebelum partai itu juga difusikan dalam PPP.
Itulah maka tatkala Abdurrahman Wahid (Gus Dur) datang ke Aceh pada 1998, sambutan masyarakat biasa-biasa saja, meskipun cucu pendiri NU itu adalah simbol gerakan reformasi bersama-sama Amien Rais dan Megawati. Ketika dia mengaku bisa menyelesaikan konflik Aceh karena dia telah dianggap ’nabinya orang Aceh‘ masyarakat di daerah ini bereaksi keras dan Gus sama sekali hilang “keramat”nya di daerah ini.
Di tengah kondisi yang semakin terseret ke politik ––dan gagal menempatkan Hasjim Muzadi sebagai wapres–– masihkah NU bisa bertahan di Jawa? Apalagi konflik internal antara Gus Dur dengan Hasjim Muzadi semakin jelas dalam Munas di Solo yang sedang berlangsung sekarang ini. Bagi Aceh, siapa pun terpilih sebagai pimpinan NU, tidak ada persoalan.
Sebab, sejarah kaum Islam tradisional Aceh bukan sejarah pasang surutnya NU. Aceh tidak punya kiai, tetapi para teungku. Keduanya sangat beda meskipun sama-sama mempertahankan “tradisi sarungan”.
Kini pun gejala memudarnya NU di Aceh tampaknya akan terus berlanjut. Musyawarah wilayah NU bulan lalu, selain sulitnya mendapatkan kader yang berkaliber, gemanya tidak luas terdengar.
Minimnya dukungan pemilih Aceh yang mendukung Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang didirikan dan dipengurusi tokoh-tokoh NU, membuktikan kesimpulan tersebut. Satu-satunya kursi PKB di DPRD Aceh hasil Pemilu 1999 yang diduduki Afdhal Jasin putra tokoh NU almarhum M Jasin, melayang sudah di Pemilu 2004. Kain sarung tampaknya lebih identik dengan ulama Perti yang masih mendapatkan tempat dalam konfigurasi masyarakat Aceh.
Courtesy: http://www.serambinews.com/index.php?aksi=bacaopini&opinid=196
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comment:
Assalamualaikum wr wb.
Bang, bisa minta penjelasan terperinci mengenai perbedaan antara para kiayi di jawa dgn para teungku di aceh ? kalo bisa mencakup aspek lengkap dengan memijam istilah orba : yaitu meliputi apsek aspek IPOLEKSOSBUDHANKAM.
terimakasih
wassalam
Post a Comment