Tuesday, January 9, 2007

Dewan Amplop




[ penulis: Barlian AW | topik: Pemerintahan ]


Di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Aceh ada dua amplop. Pada awalnya amplop adalah pembungkus atau sampul surat yang akan dikirim. Di amplop itulah alamat yang dituju dan alamat pengirim tertera. Di amplop itulah perangko ditempel sebagai “ongkos” yang dipungut kantor pos sebagai jasa antar. Amplop terbuka, perangkonya lebih murah dari amplop tertutup. Dan kemudian amplop lahir dan dibuat dalam berbagai bentuk dan ilustrasinya. Namanya tetap: amplop!

Tetapi kemudian, amplop yang awalnya sampul surat, berubah fungsi dan ––yang celakanya–– mengandung makna konotatif. Amplop menjadi simbol kurang mengenakkan. Amplop seolah sebuah aib yang membuat siapa saja yang mengantonginya menjadi seekor anjing kurap. Mula-mula yang banyak dihubung-hubungkan dengan amplop dan tertempatkan pada posisi yang paling hina adalah wartawan. Namanya: wartawan amplop. Tak dipersoalkan apakah satu amplop atau dabel amplop! Pokoknya wartawan amplop.
Wartawan amplop adalah wartawan “yang diduga” menerima amplop dari nara sumbernya. Padahal secara etik jelas tertera bahwa wartawan tidak dibenarkan menerima sesuatu ––termasuk amplop–– untuk menyiarkan atau tidak menyiarkan sebuah berita. Meski demikian fenomena amplop terus menindih profesi kewartawanan dan dunia pers kita. Memberi sesuatu kepada wartawan seolah menjadi “kewajiban” sumber berita.

Bagi sumber berita terutama mereka yang punya banyak uang, baik pejabat maupun saudagar, memberikan amplop kepada wartawan tertentu memang telah berlangsung lama. Ada yang diberi tanpa diminta, ada yang karena diminta, bahkan ada yang “terpaksa” diberi. Berita tentang pemerasan yang dilakukan wartawan ––bahkan oleh orang yang bukan wartawan namun mengaku wartawan–– sering kita dengar.

Kenapa pejabat atau mengusaha “rela” memberikan amplop (berisi uang) kepada wartawan? Pertama, seperti yang dikemukakan tadi, para wartawan datang dan memintanya dengan mangancam akan membeberkan kasus sang pejabat. Atau dengan modus lain, baik pada hari-hari biasa maupun pada “hari baik bulan baik” seperti hari raya dengan alasan THR (tunjangan hari raya) seperti sekarang ini. Maka di lobi sebuah kantor BUMN di Jawa Tengah yang sering didatangi wartawan terpasang plang bertuliskan: Perusahaan tidak menyediakan THR bagi wartawan. Sakit dan amat memalukan.
.
Kedua, di pejabat atau saudagar memang punya kasus ––misalnya mengkorup uang negara–– dan takut disiarkan pers. Mereka pun menyumbat mulut wartawan dengan amplop. Mereka mudah saja memberikan amplop kepada wartawan atau kalangan lain yang punya hubungan dengan kasus tersebut.

Mereka enak saja memberi karena yang dimasukkan ke dalam amplop bukan hasil penjualan tanah pusaka kakeknya, tetapi uang yang dia korup. Zaman semakin canggih. Untuk memberikan “THR” kepada wartawan, aparat penegak hukum, anggota DPRD, atau lembaga-lembaga tertentu tidak harus melalui amplop.

Banyak pejabat yang mulai menghemat dengan tidak lagi menyediakan amplop. Uang langsung ditransfer ke rekening yang bersangkutan. Seorang pejabat di daerah ini pernah berhemat ketika menyetor sejumlah uang kepada seorang “jaksa” lewat rekening. (Mana mungkin uang yang jumlahnya milayaran rupiah dimasukkan ke dalam amplop, kecuali amplop sebesar kardus). Meski tak pakai amplop, esensinya juga amplop alias sogok.

Penyebab ketiga kenapa ada wartawan amplop, tak lain karena moralitas dan kondisi objektif pers itu sendiri. Cukup banyak perusahaan penerbitan yang tidak menggaji wartawannya secara layak. Malah ada yang tak ada gaji sama sekali. Ada penerbit yang hanya membekali wartawan dan korespondennya dengan kartu pers. Dengan kartu pers itulah sang wartawan menyambung hidupnya –– yang tentu berkaitan dengan belas kasihan “nara sumber” berupa amplop dan lain-lain.

Kalau tanpa gaji, lalu bermodalkan kartu pers sang wartawan mencari makan (baca: amplop) ke sana ke mari, siapa yang salah? Kita harus jujur menyebutkan yang salah adalah bos surat kabar. Mereka tahu bahwa tanpa gaji orang tak bisa hidup. Mereka tahu bahwa dengan demikian “anak buah” nya cenderung melakukan praktik-praktik tidak terpuji, misalnya dengan memeras, atau menyalah-gunakan kartu pers yang dikeluarkan si bos koran.

Realitas ini amat memprihatinkan. Malah cukup banyak pemegang kartu pers adalah mereka yang sama sekali tidak punya kemampuan menulis berita. Banyak pula koran atau majalahnya tak lagi terbit, tapi wartawannya masih punya kegiatan wawancara pejabat. Mereka tetap hadir di acara-acara konperensi pers atau acara buka puasa bersama. Di era tahun delapan puluhan terhadap wartawan ini melekat istilah-istilah sinis: WTS (wartawan tanpa suratkabar), muntaber (muncul tanpa berita), dan wartawan bodrex.

Adanya fenomena seperti itu telah membuat dunia pers sebagai sesuatu yang tidak terlalu membanggakan. Profesi wartawan kadang-kadang sering nyerempet-nyerempet dengan rasa aib dan hina. Di sebuah ruang tunggu seorang pejabat, seorang wartawan bisa saja dianggap faktor pengganggu. Selain pengumunan “tak menyediakan THR” seperti di Jawa Tengah, di hampir semua kantor lain ––lebih-lebih menjelang hari raya–– umumnya pejabat menganggap kedatangan wartawan berkaitan dengan amplop.

Tidak semua wartawan adalah wartawan amplop. Malah sejumlah penerbitan yang mapan dan profesional mengingatkan para pembacanya ––secara tertulis–– bahwa wartawannya sama sekali tidak dibenarkan menerima apa pun dari sumber berita. Juga sebuah stasion televisi yang dengan santunnya menampilkan telop meminta sumber berita untuk tidak memberikan apa pun kepada koresponden dan wartawan televisi tersebut.

Memang dunia pers adalah sebuah dunia yang samar-samar. Banyak kalangan termasuk pejabat yang tidak mengerti apa fungsi pers, sehingga menempatkan pers sebagai faktor pengganggu dan bisa diimbali dengan amplop. Karena samar-samar, banyak wartawan yang hanya bermodalkan kartu pers tidak mengerti fungsi dan kedudukan pers, sehingga sebagai wartawan dia bertindak sebagai penyidik, seorang jaksa, bahkan seorang eksekutor. Dan akibat sering berhadapan dengan wartawan seperti inilah maka seorang pejabat cenderung menjauh, bahkan menganggapnya sebagai hama.

Dunia pers adalah dunia yang samar-samar. Dunia wartawan belum mampu menempatkan para pelakunya pada tangga terhormat. Adanya wartawan profesional yang benar-benar menjalankan tugas jurnalistiknya segera tenggelam dengan populasi wartawan yang sering dikaitkan dengan amplop. Maka seorang ajudan kepala sebuah dinas langsung memberikan amplop tipis kepada setiap wartawan yang ingin mewawancarai bosnya. “Bapak sibuk, lain kali saja,” katanya sambil menyerahkan amplop dengan wajah sinis.

Sekali lagi, si wartawan tak salah. Sistem dan moralitas masyarakat kita yang telah melenceng. Adanya praktek korupsi dan rasa bersalah para birokrat kita telah membuat mereka gamang dan bingung. Ketika ada telpon dari seorang “jaksa” minta pinjam uang, sang pejabat langsung mengirimnya ke rekening “jaksa”. Ketika wartawan mengancam akan menulis kasus penyelewengan yang terjadi di lingkungan sebuah kantor, kepala kantor langsung menelepon “wartawan senior” minta diatur segalanya agar berita tidak muncul.

Di satu sisi, ada kecenderungan para pejabat untuk menyogok, sedangkan di sisi lain ada oknum wartawan yang hanya bermodalkan kartu pers tanpa digaji oleh perusahaan surat kabar tempat dia bekerja. Keduanya bertemu. Di sinilah fenomena amplop dan istilah wartawan amplop mendapatkan lahan yang amat subur. Di sini pulalah para “agen” wartawan menjadi salah salah sub-profesi, di mana seorang wartawan “senior” yang memberi jaminan “keamanan” kepada bos-bos karena dia mengaku mampu mengatur dan mengkordinir rekan-rekannya.

Untuk itu tentu selain beberapa amplop biasa untuk wartawan yang akan diatur, ada sebuah amplop gemuk untuk sang kordinator. Amplop menjadi masalah. Dewan Pers yang berfungsi antara lain mengawasi kode etik, agaknya belum mampu menuntaskannya. Ada aturan agar penerbitan pers harus menggaji karyawan dan wartawannya, belum terlaksana dengan baik.

Masih ada wartawan yang terpaksa hidup dari amplop ke amplop. Amplop (baca: sogok menyogok) masih menjadi bagian dari dinamika kehidupan masyarakat kita. Harus ada badan seperti Dewan Pers yang mengawasi masalah moralitas dan etik profesionalisme, termasuk soal amplop, meskipun tidak harus dinamakan Dewan Amplop. Di mana-mana budaya amplop. Juga di DPRD Aceh yang punya dua amplop. Ini amplop Dewan namanya, bukan Dewan amplop.

Dulu sampai era delapan puluhan, dua amplop itu memang ada, meski tidak dinamakan doble amplop. Hampir semua wartawan juga dapat amplop tersebut. Amplop yang pertama berkop DPRD dari pimpinan Dewan. Amplop kedua dari pribadi anggota Dewan, dengan nama yang dicetak begitu bagus-bagus berisi kartu selamat hari raya.

Sekarang wartawan tak lagi menerima amplop dari DPRD walaupun kita tahu di sana amplop masih berlebih. Itu tak lain karena teknologi semakin canggih. Sekarang kartu lebaran semakin jarang. Gantinya adalah SMS (layanan pesan singkat) di telepon selular dan e-mail. Lebih praktis dan efesien. Kalimatnya tetap sama: Selamat Hari Raya Idul Fitri, Mohon Maaf Lahir Bathin.

Courtesy:
http://www.serambinews.com/index.php?aksi=bacaopini&opinid=167 

No comments: