Tuesday, January 23, 2007

Jamu Pesanan Suami

Agak ramai juga suasana di dalam pasar hari itu. Syaribanun dan makciknya, Teh Hindon, saling mengingatkan agar lebih berhati-hati dengan dompet. Soalnya belakangan sudah banyak pencopet beroperasi dio pasar-pasar. Kalau soal mas, keduanya memang tidak pernah memakainya kalau pergi ke pasar. Walaupun mas tidak bisa dipisahkan dengan gaya hidupnya, akhir-akhir ini banyak wanita yang tidak lagi memakai barangan emas di tempat-tempat umum. Perhiasaan tersebut hanya digunakan ketika pergi ke acara-acara kenduri atau ketika saling berkunjung di anatar teman dan kerabat.

Jika dihitung-hitung, antara lelaki dan wanita, jumlah wanita di pasar jauh lebih banyak. Kalau dalam soal berbelanja, konon kabarnya, wanita lebih hemat dari lelaki. Sebab wanita punya bakat tawar menawar yang luar biasa hebatnya. Bila perlu sampai nilai- nilai serupiah pun ada tawar menawar. Makanya kebiasaan masa dulu lelaki yang membeli tek tek bengek keperluan sehari-hari di pasar, kini tidak ada lagi. Kecuali lelaki yang tidak rela melepaskan duit pada istrinya.

Hari itu Syaribanun bersama Teh Hindon pergi ke pasar mencari berbagai keperluan, mulai dari barang-barang kebutuhan dapur sampai keperluan khusus wanita. Dari dulu kedua perempuan itu lebih suka berbelanja di pasar tradiosiobal, terutama pada penjual di emperan atau pedagang kakilima. Selain barang-barang tertentu yang dibelinya di toko, keperluan lain dibelinya dari para wanita penjaja alias nyak-nyak. Nyak-nyak itu adalah wanita perkasa yang mencari nafkah di tengah keramaian pengunjung pasar. Mereka datang dari daerah-daerah pinggiran.

Meskipun urusan belanja pokok telah selesai, tapi Teh Hindon dan Syaribanun masih kepingin jalan-jalan sekadar cuci mata di tokok- toko yang menjual berbagai keperluan. Tiba-tiba Syaribanun teringat sesuatu. Teh Hindon tertawa terkekeh-kekeh ketika Syaribanun mengatakan hampir lupa membeli pesanan suami. Bukan apa-apa, cuma karena pesanan itu adalah sejenis jamu yang khasiatnya sangat khas. "Suami yang pesan, atau wanita yang sengaja membeli, lalu suami tinggal meminumnya. Atau sebaliknya," tanya Teh Hindon. Syaribanun cuma tersenyum. Namun tawa mereka nyaris meledak ketika Syaribanun menirukan kata-kata iklan sebuah produk jamu tradisional yang sering mereka dengar diu radio.

Sebenarnya, jamu-jamu tradisional itu adalah ramuan yang diracik secara bersahaja dari daun-daunan. Dari dulu, meskipun tidak disebut jamu, orang Aceh telah menggunakan bahan-bahan dari daun atau akar kayu untuk menjaga kesehatannya. Cara pengobatan trdasional seperti tamong peundang telah lama dikenal. Nama-nama obat seperti on si kuat, on si rapat. on on tungkat alim, on kumih kucing dan on ganceng bajee, adalah senarai nama-nama obat yang cukup handal dalam kamus obat-batan yang merujuk pada kitab Tajul Muluk. Teh Hindon ingat benar ketika masih muda-muda, sang suami menganjurkan untuk meminum rebusan on si rapat dicampur dengan daun sirih, sedang untuk lelaki adalah rebusan on sikuat dicampur dengan pinang muda.

Istilah jamu baru populer dalam dalam lima belas tahun terakhir ini. Lihatlah berapa banyak merek jamu di depot-depot obat dengan berbagai khasiatnya. Lihatlah di jalan-jalan betapa banyak wanita asal Klaten dan Purworejo yang menjajakan jamu di pagi atau sore hari. Jamu plus air campurannya di dalam botol setelah dimasukkan ke keranjang, mereka bawa dari lorong ke lorong dengan cara menggendong. Jamu ini namanya jamu gendong.

Belibat mbak jamu ini pada mulanya terlihat aneh. Sebab, cara menggendongnya beda dengan yang dilakukan wanita Aceh yang menempatkan barang gendongannya di sisi badan sebelah kiri atau kanan. Demikian juga kalau mengendong bayi. Sedangkan bagi wanita- wanita asal Purworejo, Klaten, atau Wonogiri tersebut barang gendongannya ditempatkan di punggung belakang. Ini hampir sama dengan cara menggunakan senjata bagi lelaki. Bila yang namanya rencong diselip di pinggang bagian samping atau depan, sedangkan yang namanya keris terselip di belakang.

Memang lain padang lain belalang. Tujuannya sama: sebuah senjata plus aksesoris dalam berpakaian. Ya, namanya boleh lain-lain, tetapi maksudnya sami mawon. Misalnya lagi ramuan tradisional yang sekarang disebut jamu, pada zaman dulu racikan seperti itu memang sudah ada di lingkungan masyarakat Aceh, sebelum wanita-wanita penggendong itu datang ke mari. Namanya makjun. Mungkin ini istilah yang berasal dari Arab, karena lafalnya memang mirip-mirip ke sana. Cuma entah mengapa, yang namanya makjun semuanya berwarna hitam.

Kini jamu dan obat-obat tradisional mulai digemari lagi. Kabarnya ini pengobatan alternatif, setelah orang merasa putus ada dengan obat patent. Berbagai produk obat-obat tradiosional, baik yang terkemas rapi secara modern maupun yang dibungkus dengan plastik beredar di mana-mana. Juga klinik-klinik pengobatan tradisional telah tumbuh dengan gencarnya. Dengan papan merek dan nama macam- macam, tertera pula puluhan penyakit yang yang mampu disembuhkan. Mulai dari tergilir sampai bengek.

Banyak sekali pasien yang datang untuk mencobanya. Apalagi karena kebanyakan klinik ini memasang iklan di koran dan radio. Cuma, katanya, bunyi iklan tersebut kalah genit dengan bunyi iklan barang-barang modern. Malah iklan obat tradisional atau klinik tradisional, cenderung vulgar. "Itu karena teks iklan tersebut dibuat sendiri oleh pemilik barang atau pemilik klinik. Mereka tidak menyerahkan soal iklan kepada ahlinya," kata Jen- jen jok kepada Syaribanun, ketika mereka membaca beberapa iklan di surat kabar akhir-akhir ini. "Sayang, iklan itu juga dibaca oleh anak- anak. Seharusnya surat kabar yang menerima iklan itu juga slektif. Sebab, koran itu tidak ada batas umur pembaca," kata Syaribanun.

Dia pernah mendengar cerita temannya yang sulit menjawab pertanyaan anak kecil tentang maksud dan arti kata "ereksi' dalam sebuah iklan ahli pengobatan. Juga banyak istilah lain yang menarik perhatian anak-anak dan mereka ingin tahu apa artinya. "Siapa ya, yang ber- tanggung jawab dalam soal-soal begini. Bagaimana kita menjawab pertanyaan tersebut," tanyanya. Pelik, memang!

Kini bersama Teh Hindon wanita itu sedang menuju kedai jamu tradional. "Apakah suamimu mulai harus dibantu dengan jamu,...haaaaa.....," tanya Teh Hindon menggoda, persis di kala mereka memasuki kedai obat. "Untuk apa harus beli jamu. Pakai saja pinang muda alias pineueng keucek," saran makciknya itu. "Bukan jamu itu, bukan. Yang disuruh beli adalah jamu untuk susut perut untuk saya. Bukan untuk suami. Dia hanya mengingatkan saja. Sekarang kan lagi trend orang berbadan lansing. Jamu untuk saya, langsingnya untuk suami, tentu...haaaaa.... ." Keduanya bersiap- siap untuk pulang.

courtesy: www.indomedia.com/serambi/kontras/120/kon3.htm 

No comments: