Tuesday, January 9, 2007

Mengapa Mustafa Dihujat?


[ penulis: Barlian AW | topik: Pemerintahan ]


Rabu pekan lalu, sejumlah anggota DPRD Aceh mengkritik pedas cara kerja Gubernur Mustafa Abubakar. Malah satu di antara delapan pengkritik itu minta Mustafa segera mundur dari jabatannya sebagai penjabat gubernur. Mereka menilai selama lima bulan kepemimpinannya, Mustafa tak berbuat apa-apa. Dia asyik jalan-jalan ke sana ke mari.

Kritikan ini mengejutkan banyak kalangan mengingat selama ini DPRD hanya memilih diam di tengah-tengah tidak maksimalnya kinerja eksekutif yang ditandai dengan lambannya penanganan berbagai masalah kemasyarakatan. Selama ini seolah eksekutif dibiarkan berjalan sendiri tanpa ada “gangguan” dan teguran, baik dari kalangan DPRD, maupun dari pers. Pekan lalu tampaknya DPRD mulai “mendehem” sedikit.

Mengapa sekarang para anggota dewan itu mulai mengkritik dan menghujat Mustafa? Pertama, dia dinilai kurang konsisten. Tidak sama antara ucapan dengan perbuatannya. Dia mengatakan, para pegawai pemerintah tidak boleh menerima gaji dan honor ganda. Jika seorang pegawai diberikan tugas di luar tugas pokok, dia tidak berhak mendapat honor. Dia dianggap telah digaji oleh pemerintah. Tapi kenyataannya, banyak pegawai yang bekerja rangkap dan mendapat honor ganda, semisal yang ditempatkan di BRR.

Dalam kapasitasnya sebagai gubernur, Mustafa juga adalah Wakil Ketua Badan Pelaksana BRR ––wakil Kuntoro–– dengan gajinya setiap bulan yang kira-kira berkisar Rp 100 juta. Di sini juga orang bertanya, apakah dengan ketentuan seseorang tidak boleh menerima honor rangkap, dia mengambil atau tidak gaji dari BRR itu? Di sini pulalah orang mempersoalkan konsisten tidaknya antara perkataan dengan perbuatan. Untuk tidak menjadi fitnah, Mustafa patut menjelaskan masalah ini kepada publik.

Yang kedua, dia dihujat oleh DPRD karena banyak janji yang tampaknya tak bisa ditepati. Misalnya soal pengungsi, yang menurut dia pada akhir Juni 2006 tidak ada lagi orang di barak ––apalagi––- di tenda-tenda darurat. Dalam kenyataannya, jangankan mengembalikan mereka ke rumah yang dibangun pemerintah, tanah untuk pembangunan rumah saja belum dibebaskan, padahal dana sudah tersedia di BRR. Calon lokasinya telah diajukan, tapi pelaksanaannya tidak jalan. Puluhan ribu orang yang malang itu masih tidur di tenda-tenda dengan suasana yang amat memprihatinkan.

Masalah pengungsi ini menjadi sangat penting di antara tugas-tugasnya yang lain. Sebab, penunjukannya sebagai penjabat gubernur, selain melaksanakan tugas pemerintahan, ada tiga tugas pokok lainnya, yaitu masalah rekonstruksi dan rehabilitasi, masalah reintegrasi, serta masalah pemilihan kepala daerah (Pilkada).

Kalau kita urut-urut, dari ketiga tugas itu, masalah rekonstruksi yang intinya merelokasi pengungsi menjadi amat penting, karena menyangkut masalah kemanusiaan. Anehnya, di tengah-tengah ketidak pastian dan gagalnya mengembalikan pengungsi, dia lebih memilih mengadakan kunjungan dan jalan-jalan ke luar negeri. Seharusnya dia memprioritaskan tugas-tugas di daerah yang memerlukan penanganan serius.

Kenyataan, banyak tugas pembangunan dan pemerintahan yang kececeran. Sejumlah dinas, badan, dan biro tidak ada yang memimpin, karena pejabat bersangkutan telah ditunjuk menjadi penjabat bupati dan walikota. Akibatnya, banyak pekerjaan yang amburadul di instansi atau biro yang ditinggalkan oleh “pimpinan”nya. Tidak ada tanda-tanda dari gubernur untuk mengisi jabatan kosong tersebut dalam waktu dekat.

Seharusnya di kala Aceh memerlukan genjotan dan percepatan pembangunan, semua perangkat tersedia dengan baik. Sekarang ini, banyak urusan yang kurang berjalan sesuai rencana di dinas-dinas/ badan serta biro yang kepalanya telah diangkat sebagai walikota atau bupati. Oleh kalangan DPRD hal ini dianggap sebagai “kelalaian” seorang gubernur, yang mengakibatkan kinerja pemerintahan melorot, dan pelayanan kepada maayarakat tidak maksimal.

Lowongnya jabatan tersebut semakin melengkapi julukan Pemprov NAD sebagai institusi ompong, karena kekurangan gigi. Bayangkan mulai dari gubernur yang statusnya penjabat (pj), sekretaris daerah yang berstatus pelaksana tugas (plt), sampai dengan tugas kepala dinas/badan serta biro yang dilaksanakan oleh orang yang tidak kapabel. Oleh karena itu seharusnya dalam waktu dekat, gubernur cepat mengisi jabatan-jabatan yang kosong ini.

Memamg ada alasan mengapa gubernur tidak mengisi jabatan-jabatan kosong. Rencananya sejumlah dinas/badan serta biro akan diciutkan, sehingga tidak memerlukan banyak orang yang harus ditempatkan untuk mengisinya. Tetapi rencana perampingan ini juga terkendala, karena qanun (peraturan daerah) menyangkut struktur baru tersebut belum dibahas ––apalagi disahkan–– oleh DPRD. Kalangan Dewan menganggap rencana perampingan ini juga sebagai kebijakan yang tergopoh-gopoh, karena tidak dikonsultasikan dahulu. Tiba-tiba saja DPRD telah menerima rancangan qanun untuk minta dibahas.

Satu lagi langkah Mustafa yang sedikit banyaknya membuat sejumlah kalangan tidak nyaman ialah pemberlakuan hari kerja dari enam hari seminggu menjadi lima hari kerja dengan penambahan jam kerja setiap harinya. Pola lima hari kerja telah pernah dilaksanakan suatu ketika dulu di Aceh. Hasil evaluasi menunjukkan pola tersebut tidak sesuai dengan karakteristik Aceh.

Di hari-hari biasa yang jam kantor sampai sore hari, banyak pegawai yang tidak ada kerja, kecuali pejabat dan beberapa orang yang terlibat proyek. Dengan jam kantor yang demikian membuat pegawai harus makan siang di kantor. Ini juga memerlukan kost yang tidak sedikit. Pada hari Sabtu yang diliburkan, pegawai di daerah ini tidak tahu untuk apa dimanfaatkan, sehingga libur itu akan sia-sia. Kondisi di Aceh dengan Jakarta memang beda, tapi kurang dipahami.

Kecuali itu, kebijakan tersebut telah diterjemahkan secara sinis oleh masyarakat. Katanya, libur Sabtu-Minggu lebih karena kepentingan pejabat daripada kepentingan para pegawai pada umumnya. Bagi pejabat tertentu, dengan libur dua hari mempermudah mereka meninggalkan Aceh pada Jumat sore atau Jumat malam untuk terbang ke Jakarta, dan baru ada lagi di Aceh pada Senin pagi. Apalagi rumah dan keluarga pejabat tersebut memang di Jakarta.

Faktor ketiga kenapa Mustafa dihujat oleh kalangan DPRD, karena secara emosional Mustafa tak punya kaitan apa-apa dengan DPRD, baik secara kelembagaan, maupun perorangan. Dia tak punya hubungan dengan partai-partai politik yang berada di DPRD. Dia ditunjuk langsung oleh Presiden RI untuk menjalankan tugas-tugas pemerintahan setelah jabatan gubernur kosong, bukan dipilih atau diajukan oleh partai politik.

Dengan posisi semacam itu Mustafa tidak punya benteng di DPRD Aceh, sehingga dia mudah diserang. Mungkin yang ada sedikit punya hubungan historis hanyalah dengan Partai Golkar. Sebab, secara menyejarah ketika Mustafa menjadi pejabat di Jakarta (di masa Orde Baru), dia otomatis adalah fungsionaris Golkar. Ketika dia ingin ditempatkan di Aceh sebagai pejabat gubernur, beberapa tokoh Golkar di Jakarta ikut mendukung, sehingga “calon” lainnya, Arnis Arsyad yang semula disebut-sebut “segera” dilantik, langsung terpental.

Mungkin karena ada hubungan yang sedikit itu pula maka di antara para penyampai pandangan umum di DPRD yang kemudian melahirkan kritik tajam, hanya Adriman Kimat dari Golkar yang tidak mencerca Mustafa. Sedangkan semua anggota lain dari berbagai partai politik yang tampil di podium menilai Mustafa tidak becus mengurus Aceh, sehingga ada di antara mereka yang meminta mantan Ketua TIM (Taman Iskandar Muda) Jakarta itu segera mundur.

Agar Mustafa “aman” selama berada di Aceh, beberapa langkah perlu diambil. Pertama, dia harus dengan cepat membenah pemerintahan, mengisi jabatan yang kosong, termasuk mengangkat Sekda definitif. Kedua, jangan terlalu mudah membuat statemen, karena sesungguhnya Aceh ini memang berkarakteritik “lain”, kritis dan mudah tersulut.

Ketiga, dia harus membangun jaringan politik dan hubungan personal dengan berbagai kalangan termasuk partai dan tokoh politik. Kita gembira karena Mustafa menyambut semua kritik dengan hati dingin dan lapang dada. Maka untuk itu semua, agar dia sukses sebagai penjabat gubernur dan pejabat publik, agaknya Mustafa tidak terus membiarkan dirinya dikurung dan diisolasi oleh segelintir orang, apalagi orang tersebut terbukti pernah gagal membangun Aceh. Kita tidak berharap di bawah kepemimpinan Mustafa, Aceh tidak menjadi nestafa.


Courtesy: http://www.serambinews.com/index.php?aksi=bacaopini&opinid=559 

No comments: