Friday, February 2, 2007

"Petaka Budaya" dalam PKA

[ penulis: Oleh Barlian AW | topik: Budaya ]


Judul berita surat kabar ini kemarin bertajuk; Arena PKA Tinggal Finishing . Sungguh suatu yang amat melegakan. Sebab, dalam masa-masa terakhir ini kecemasan sekitar pelaksanaan Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) IV adalah soal siap tidaknya arena yang terpacak di atas tanah seluas tujuh hektar tersebut. Apalagi di awalnya PKA IV ini ingin dimulai pada 9 Agustrus lalu, tetapi ––konon–– karena Presiden Megawati tak bisa hadir, digeser setelah perayaan tujuh belas Agustus, tanggal 19 atau 21 Agustus.

Kecemasan ikhwal PKA ini muncul dari berbagai kalangan. Kecemasan keprihatinan itu lantas diujudkan dalam bentuk protes, misalnya soal dialihkannya dana pendidikan sebesar Rp 12 milyar untuk pelaksanaan PKA. Menurut para pengkritik ––antara lain datang dari LSM dan pengajar di perguruan tinggi–– dana Rp 12 milyar itu tak layak digunakan untuk PKA yang ––menurut mereka–– penuh hura-hura sementara banyak anak-anak usia sekolah yang masih membutuhkan dana.

Polemik soal pengalihan dana ini lumaian menyita perhatian publik dan ikut membimbangkan beberapa kalangan, sehingga terkesan Pemda NAD pun ragu-ragu. Padahal sebagian para pengkritik kurang memahami makna pelaksanaan PKA bagi Aceh masa kini. Kebudayaan bukan hanya seulaweut intat linto atau peusijuek, atau bukan sekadar tari-tarian dan nyanyi-menyanyi. Kebudayaan jauh lebih luas lagi, sehingga ada yang mengatakan pendidikan itu bagian dari kebudayaan, dan (memahami) kebudayaan itu adalah salah satu bentuk pembelajaran.

Kritik selain bukti tanggungjawab masyarakat, juga karena kurang memahaminya secara imperis. Ini kita juga yang salah. Kita terlanjur memilih pemimpin yang kurang peduli budaya, sehingga sempat 16 belas tahun PKA tidak berlangsung. Sebuah rentang yang panjang. Amat wajar kalau para pemuda ––sebagian melontarkan kritik–– tidak memahami apa itu PKA karena ketika PKA III (1988) mereka masih kecil-kecil.

Untunglah Gubernur Aceh sekarang Abdullah Puteh punya komitmen terhadap budaya, sehingga apa pun yang terjadi PKA IV tetap dilaksanakan. Polemik yang sempat melahirkan sinisme ––bahkan caci maki dan prasangka–– itu berakhir. Kini di arena yang kemudian bernama Taman Safiatuddin itu telah berdiri gedung-gedung megah milik daerah-daerah, baik yang berarsitektur modern maupun yang tradisional. Di arena itu ––meskipun belum sempurna–– kita bisa mendapat jawaban, betapa agungnya budaya kita. Betapa megah dan besarnya perhelatan yang bakal digelar. Dan agaknya nominal Rp 12 milyar tidak ada artinya dibandingkan dengan kebesaran yang ingin diraih secara kultural.

Begitulah arena tersebut diberi nama Taman Safiatuddin yang diambil dari nama seorang raja perempuan Kerajaan Aceh masa lampau: Ratu Safiatuddin yang memerintah selama 35 tahun (1641-1676). Dia adalah putri Sultan Iskandarmuda, dan istri Iskandar Thani ––sultan yang menggantikan Iskandarmuda. Dengan demikian dialah raja atau sultanah yang paling lama memerintah, melebihi raja-raja sebelum dan sesudahnya. Melihat lamanya memerintah tentu dia orang yang hebat. Masa 35 tahun melebihi masa pemerintahan Soeharto (32 tahun) dan Mahathir Muhammad dari Malaysia (23 tahun).`

Safiatuddin adalah ratu dan pemimpin Aceh yang tidak hanya memerintah, juga meletakkan dasar-dasar peradaban bagi salah satu kerajaan Melayu- Nusantara pada waktu itu, dengan mengedepankan aspek pendidikan dan budaya. Dialah yang mengirim ulama Aceh ke luar negeri menekuni ilmu lantas mengajarkan di lembaga-lembaga pengajian Aceh. Di masa dialah berbagai buku ditulis, yang kemudian dicatat oleh sejarah sebagai zaman yang menempatkan budaya dan religi di dalam kuali peradaban manusia. Itu juga salah satu kebesaran Aceh dan kebesaran PKA IV.

Tentu dalam sebuah nama besar terkandung makna dan filosofi yang dapat dibaca secara benar. Pekan Kebudayaan Aceh dan nama Safiatuddin selalu bermakna dan dapat dimaknai. Misalnya, PKA sebelumnya tak ada arena permanen dan tak ada nama yang ditabalkan, sehingga usai PKA pupus pulalah segalanya secara fisik. Kali ini memang lain. Banyak pula acara baru. Ada Kenduri Rakyat dan ada pula Anugerah Budaya ––sebagai penghargaan kepada para budayawan dan seniman yang telah berjasa terhadap kemajuan kebudayaan di Aceh.

Ada satu lagi. Ini luar biasa! Juadah Raya Nanggroe Aceh. Ini rencana pembuatan kue besar yang akan dipajangkan di Taman Safiatuddin ––di taman dengan nama ratu yang menjunjung tinggi etika dan budaya. Ini memang amat spektakuler. Mengejutkan banyak pihak. Bukan karena baru, tetapi pada wah nya. Konon kue ini akan diujudkan dalam bentuk pelaminan Aceh, yang terdiri dari kue bungong kayee sebanyak 4.820 buah, dodol (880 buah) yang akan dipakai untuk lantai, ada lagi 100 dodol untuk tempat duduk, ada meusekat untuk bantal, ada wajik untuk tiang dan hiasannya. Ada pula keukarah dan sebagainya, yang semuanya akan ditempelkan dan direkayasa dalam bentuk pelaminan Aceh.

Ini luar biasa. Bukan karena orang Aceh tidak pernah mendengar apalagi melihat kue sebesar itu. Bukan! Tetapi banyak orang yang terheran-heran kenapa makanan dalam bentuk kue (dalam bahasa Aceh disebut peunajoh, dalam bahasa Melayu disebut juadah) sampai hati dijadikan pelaminan Aceh dengan alasan ingin dicatat sebagai kue terbesar oleh Jaya Suprana dari Muri (Museum Rekor Indonesia). Di sana ada kontroversi menyangkut barang milik perempuan Aceh yang akan diakui sebagai kue terbesar dalam sejarah.

Pertama, dalam budaya Aceh, makanan, termasuk peunajoh atau kue adalah sesuatu yang memiliki makna relegius, bukan sekadar sesuatu yang bisa dimakan. Itu adalah makanan yang berasal dari rezeki yang diberikan Allah SWT kepada kita. Oleh karena itu tidak boleh disia-siakan, tidak boleh dimain-mainkan dan dipermainkan, serta tidak boleh ditempatkan di sembarangan tempat. Makanan memiliki kelas nya terutama ketika menjadi bagian dari acara resmi, yang di dalam terminologi Aceh disebut khanduri (kenduri) ada tatacaranya.

Lihatlah ketika kenduri maulid berlangsung. Makanan yang dibawa ke meunasah tidak ditaruh dalam rantang yang biasa dijinjing. Makanan itu diisi dalam farakan atau dalong yang harus dibawa dengan cara menjunjung, bukan menjinjing. Lihatlah ketika seorang anak secara tak sengaja menumpahkan nasi dari piring, orang tua lalu memungutnya sambil berucap: Kru semangat!. Sang ibu selalu saja mengingat anak-anak kecil agar menghabiskan nasi, jangan tersisa di piring, dan jangan pula tersisa di telapak tangan. Begitu terhormat dan suci nya makanan, tidak boleh terbuang atau tertempatkan di tempat-tempat yang tidak senonoh. Apa pun makanan tersebut, konon pula kue-kue yang begitu terhormat dan ternama.

Kalau makanan yang dijadikan pelaminan Aceh di sebuah tempat dengan nama terhormat ––seperti nama Safiatuddin dan PKA–– fungsinya untuk tempat duduk dan itu dilakukan oleh orang-orang yang beradab dan berbudaya, masa Allah betapa remehnya makanan itu. Bagi yang mengerti arti dan filosofi makanan termasuk kue, akan menarik nafas pajang bila mendengar makanan tersebut akan diinjak dan dipantati alias diduduki dengan pantat, setelah rezeki dari Allah itu dibentuk sedemikian rupa untuk hal-hal di luar fungsinya sebagai juadah.

Kita menghargai gagasan-gagasan baru, seperti kita menghormati pelaksanaan KPA dan upaya menjunjung tinggi budaya serta adat istiadat Aceh dengan pernik dan etikanya. Kita amat salut kepada Gubernur Abdullah Puteh yang meskipun dikritik pedas tetap bertekad melaksanakan PKA IV. Tetapi kita sulit memahami maksud menginjak-injak dan memantati makanan di tengah kita ingin menunjukkan kebesaran moral dan etika budaya lewat PKA. Kita juga gembira kalau ada sesuatu yang tampil dalam PKA bisa masuk katagori ter dalam Museum Rekor Indonesia. Tetapi jika itu terkait dengan makanan yang telah diubah menjadi tempat duduk dan tempat injakan, maka aspek ria pun muncul.

Ria itu dilarang agama dan adat istiadat kita. Maka pesta perkawinan dalam adat Aceh tidak disebut pesta, tetapi khanduri atau kenduri agar jauh dari apek ria dan takabur. Pepatah Aceh menyebutkan: Ujub teumeu´a ria teukabo, di sinan nyang le ureueng binasa. Membuat kue jadi pelaminan ujub namanya, yang oleh orang tua disebut hana roh. Kalau tujuannya agar jadi sebagai yang ter dalam Muri, itu bisa mengandung dua unsur sekaligus: takabur dan ria.

Di tengah kegigihan seorang Abdullah Puteh melaksanakan PKA IV dengan berbagai tantangan, kok masih ada atraksi budaya menyalahi filosofi dan fatsun budaya Aceh. Seharusnya nama besar Safiatuddin tidak boleh rusak oleh penghinaan terhadap makanan lewat Peunajoh Raya Naggore Aceh. Kita tak berharap simpati yang mulai diberikan oleh masyarakat, akan buyar lagi oleh peunajoh tadi. Dan kalau itu terjadi sebuah mala petaka budaya akan hadir di arena PKA IV yang meminjam nama besar seorang ratu Aceh terkenal Safiatuddin. Atraksi kurang senonoh itu haruskah kita tebus seharga Rp 12 milyar yang berasal dari dana pendidikan?


courtesy: http://www.serambinews.com/index.php?aksi=bacaopini&opinid=44 

Mimpi Ingin Jadi Walikota

 

[ penulis: Barlian AW | topik: Pemerintahan ]


Hampir semua sisi kehidupan kita diatur oleh undang-undang dan qanun, atau norma-norma. Kalaupun ada yang belum diatur hanya satu, yaitu mimpi! Karena tak ada aturan dan perda, maka siapa saja bebas bermimpi. Berbeda dengan buang sampah yang tak boleh di sembarangan tempat, bermimpi di mana pun boleh. Maka, bermimpilah sebebas-bebasnya, termasuk mimpi tentang sampah dan mimpi tentang orang yang melarang buang sampah di dalam kota yaitu walikota.

Begitulah saya bermimpi ingin mencalonkan diri jadi walikota. Dan mimpi itu berlangsung tadi malam menjelang dilantiknya 30 orang anggota DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) Kota Banda Aceh pada Sabtu, 11 September 2004, hari ini. Ada 21 muka baru yang muncul di badan legislatif hasil pemilu (pemilihan umum) lalu. Kita nyatakan hormat dan penuh percaya kepada mereka. Kalaupun ada desas desus, maka asas praduga tak bersalah berlaku di sini. Kita harus berputih hati tanpa curiga.

Dalam mimpi semalam, seolah saya datang menyalami ke 30 anggota DPRD Kota Banda Aceh yang sudah bekerja di kantor mereka dengan program dan jadwal sangat padat, antara lain: bersidang, pergi pansus, hitung anggaran, bagi komisi, dan studi banding. Saya menjabat erat tangan mereka, terutama tangan delapan anggota dari PKS (Partai Keadilan Sejahtera) yaitu partai yang paling banyak menuai kursi dalam musim panen kali ini. Ini berkat sikap dan program mereka yang selaras dengan kepentingan rakyat. Golkar dan PPP yang sangat signifikan sejak Orde Baru, kali ini hanya masing-masing mendapatkan lima kursi.
Untuk mereka yang dari PAN, jabat tangan saya juga sangat erat. Soalnya, PAN, PPP, Golkar, dan PKS adalah partai yang berhasil menduduki posisi pimpinan dewan, yaitu seorang ketua dan tiga wakilnya. Tak jelas dalam mimpi saya itu siapa yang ketua dan siapa-siapa yang duduk sebagai wakil ketua. Pokoknya masing-masing mereka seorang pimpinan yang bersifat kolektif.

Mereka menanyakan, kenapa saya sowan ke mereka jika ingin mencalonkan diri menjadi Walikota Banda Aceh? Saya bilang mereka adalah pilihan rakyat secara langsung dalam pemilu yang sangat demokratis. Bisa tidaknya saya jadi walikota sangat tergantung pada budi baik mereka. Dalam mimpi itu, saya telah pergi ke Pak Syarifuddin Latief, pejabat walikota sekarang, dan beliau mengatakan tidak maju lagi. Jika beliau maju, tentu saya takkan mau melangkahinya.

Saya jelaskan itu kepada anggota DPRD tadi, kepada Pak Waki kita. “Tapi sekarang kami tak ada lagi hak pilih memilih. Ke depan berlaku pilsung alias pemilihan langsung,” kata salah seorang ketua fraksi. Saya tidak menjawab, sampai mereka katakan, wewenang mereka sekadar mengajukan calon. Itu pun barangkali akan ada aturan seseorang calon dibolehkan maju secara independen tanpa melalui pengajuan DPRD atau fraksi. Jadi tak ada apa-apa lagi.

Saya amat menghormati argumen wakil kita itu. Betapa ikhlasnya dengan menjunjung tinggi aturan dan prinsip demokratisasi sambil menempatkan rakyat pada posisi yang benar, meskipun secara politis rakyat telah memberi hak-haknya kepada mereka. Mereka juga mengatakan, sebenarnya mereka lebih senang seorang kepala daerah apakah walikota atau bupati dipilih langsung oleh rakyat. Dengan demikian, mereka takkan diterpa isu makan uang dari calon atau tim sukses seorang calon seperti yang sudah-sudah.

Saya tekesima. Mereka tak ingin langkah-langkah mereka membuka peluang untuk fitnah. “Kami tidak mau disebut terlibat money politic alias politik uang uang. “Bapak kan tahu, jangan kan politik uang, dengan ’uang politik‘ saja rekan-rekan kami sudah kapok. Biar saja rakyat memilih pemimpinnya secara langsung. Kalaupun ada yang mau kasih uang, maka kasihlah kepada rakyat sebagai tanda terimakasih, bukan sebagai sogok” kata Pak Waki yang hadir dalam mimpi saya semalam.

Betapa mulianya hati Pak Waki kita. Mereka mulai memikirkan rakyat. Dan itu katanya, sudah menjadi komitmen partai sejak masa kampanye. Saya percaya saja. Namun berpikir juga bahwa memberikan uang “terima kasih” kepada sekitar 200.000 orang pemilih dalam Kota Banda Aceh jauh lebih rumit daripada menyediakan 30 lembar cek untuk anggota DPRD. Itu pun jika mereka mau, karena dengan semakin meningkatnya nilai moralitas, anggota DPRD dan rakyat takkan lagi mau main-main dengan uang, apalagi uang telah membuat rekan-rekan anggota DPRD di seluruh Indonesia terpaksa berkantor di “gedung prodio”.

Meski begitu saya tetap yakin pemilihan walikota dan bupati di Aceh kali ini belum dilaksanakan dengan sistem pemilihan langsung sebagaimana menjadi tuntutan para demonstran beberapa waktu lalu, lantas karena desakan tersebut oleh DPRD memproduk qanunnya. Pak Waki tampaknya kurang yakin dengan apa yang saya wacanakan. Katanya, selain qanun, UU nomor 18/2001 tentang Otonomi Khusus NAD mengisyaratkan pilsung di Aceh. Anggota KIP (Komite Independen Pemilu) sedang direkrut.

Menurut saya, kalau pilsung berpegang pada qanun bukan pada undang-undang, maka konsekuensi biaya pilsung yang bermilyar-milyar rupiah itu harus dipikul oleh daerah, bukan oleh pemerintah pusat melalui APBN. Adakah daerah punya uang dan APBD nya yang banyak, sedangkan untuk kebutuhan lain juga tak kalah pentingnya? Berapa yang dibutuhkan Aceh untuk membiayai pilsung di 21 kabupaten dan kota plus pemilihan gubernur? Kecuali kalau pilsung tersebut diatur melalui UU, itu menjadi beban APBN dan berlaku secara nasional.

Saya tak memperpanjang dialog. Sebab, Pak Waki mulai membedah otak saya soal program kerja seorang calon walikota. Mimpi saya menjadi hangat. Keringat ke luar sekujur tubuh membasahi tilam dan bantal. Saya sulit menjawab ikhwal program kerja. Sebab, walikota sebelumnya juga tidak terlalu jelas program kerja, tetapi kerjanya jalan. Bukankah seorang Sayed Husein telah berhasil menghijaukan kota di hampir semua sudut? Setiap kali kita melihat taman dan pohon-pohon yang rindang, kita teringat Sayed Husein. Bukan yang lain!

Namun rindangnya pohon, banyaknya pembangunan toko, serta tumbuhnya industri rumah tangga sama sekali tak berarti jika listrik sering mati seperti yang acap dialami oleh Banda Aceh. Dalam suasana gelap gulita, orang tatkan bisa berjualan, rumah mewah akan kehilangan auranya, taman yang rindang dan asri pun akan berpeluang disalahgunakan. Saya pikir listrik menjadi salah satu prioritas bagi seorang calon walikota alias Pak Wali.

Dalam suasana itu, seorang lelaki muncul. Namanya Haji Tajuddin Hasan, sarjana ekonomi. Di depan Pak Waki tadi, Pak Tajuddin menjelaskan apa arti listrik bagi sebuah kota dan bagi kehidupan warganya. Saya mendengarnya dengan takzim presentasi Pak Tajuddin. Alangkah runut dan sistematisnya. Alangkah detailnya. Dia juga menceritakan bagaimana membangun ekonomi rakyat perkotaan. Listrik amat strategis kedudukannya. Saya pikir ya juga. Di Kawasan Industri Medan (KIM) di Jalan Medan - Belawan, banyak pengusaha yang ingin angkat kaki akibat terganggu pasokan arus listrik. Lalu muncul kebijakan baru dari Walikota Medan, Abdillah, dan KIM pun bisa diselamatkan dari hengkangnya para investor.

Kenapa Pak Tajuddin hadir dalam mimpi saya? Saya tidak tahu. Yang kemudian saya ketahui lelaki berusia 41 tahun itu adalah seorang sarjana ekonomi dan pengusaha. Putra kelahiran Pagar Air, desa di pinggiran Banda Aceh, ini memang sangat berpengalaman soal listrik. Dialah salah seorang penyelamat ketika Banda Aceh dilanda krisis listrik beberapa waktu lalu. Bukan orang yang ikut membeli ginset lalu ribut dan ditahan polisi. Bukan! Dialah yang memboyong mesin listrik dari Kalimantan ke Aceh. Kalau pernah dengar atau bahkan pernah lihat PLTD Apung di Uleelheue, maka dialah lelaki di balik kehadiran benda tersebut ke sini.

Tapi kenapa dia tiba-tiba hadir dalam mimpi saya semalam, persis ketika saya ingin mendekati anggota dewan dalam upaya menjadi calon walikota? “Saya hanya datang ingin menyelamatkan Anda dari serangan pertanyaan anggota DPRD soal listrik dan langkah membangun Kota Banda Aceh. SEorang calon walikota tak boleh tergagap-gagap di depan anggota DPRD dan di depan rakyatnya,” kata Tajuddin. Ada bayang-bayang yang melintas. Dalam ilusi dan mimpi, lintasan itu tiba-tiba berubah. Dan itu saya pastikan kemudian yang melintas itu adalah Pak Abdillah, Walikota Medan. Abdillah adalah seorang wiraswastawan, bukan pegawai negeri dan bukan politisi. Seorang partikulir! Dia boleh dibilang sukses membangun Medan yang berpenduduk hampir dua juta jiwa. Saya juga seorang partikulir yang ingin jadi Walikota Banda Aceh dengan penduduk tak sampai setengah juta jiwa. Persoalannya pun tak serumit Medan. Apalagi kalau anggota DPRD ––dan siapa pun–– benar-benar tak mau terlibat politik uang.

Ini peluang, memang! Tapi saya malu sama Pak Tajuddin dalam mimpi itu. Dia jauh lebih layak. “Oke, kalau begitu Anda sebagai wakil walikota mendampingi saya,” jawab Tajuddin ketika saya menawarkan alternatif tadi. Saya menggeleng. “Kalau Bapak jadi walikota, saya ikhlas. Tak perlu jadi wakil. Jadi rakyat atau warga kota saja sudah puas,” kata saya. Soalnya seorang rakyat lebih bisa menikmati dan berasyik maksyuk dengan mimpi-mimpinya ketimbang seorang pejabat, meskipun mimpi tak ada larangan sama sekali. ■

courtesy: http://www.serambinews.com/index.php?aksi=bacaopini&opinid=79