Wednesday, January 10, 2007

Susah Jadi Manusia

Oleh Barlian A.W

Ada kalimat yang sedikit agak jujur: "Susah Jadi Manusia!" Itu diucapkan oleh seekor monyet dalam ekspresi serius. Gambar dan tulisan tersebut terdapat di baliho dan umbul-umblul iklan rokok yang dipajang di seantero kota beberapa tahun lalu. Sinis, dan menggelitik, sekaligus menggugat. Kata itu diikuti oleh kata-kata di umbul-umbul lain: "Silakan Blak-blakan" dan "Bukan Basa Basi"

Kini kalimat "Susah Jadi Manusia" seolah menjadi aktual kembali ketika Presiden Megawati Soekarnoputri melantunkan sebuah kelaimat: "Kalau ditanya mana yang lebih saya sayangi manusia atau binatang, saya katakan saya sayang kedua-duanya." Itu diucapkan di dalam sebuah pertemuan di Banda Aceh pada 7 Maret 2004 lalu, di depan beberapa menteri, anggota parlemen, pejabat Aceh dan sejumlah undangan.

Semula direncanakan kunjungan Megawati itu antara lain untuk meresmikan pertanda dimulainya pembangunan Ladia Galaska --poros jalan yang sesuai namanya dimulai di ketiak Lautan Hindia di kawasan barat-selatan Aceh, melintasi dataran Gayo dan Alas, dan berujung di bibir Selat Melaka, di pantai timur Aceh. Tetapi Megawati hanya meresmikan proyek lain, karena Ladia Galaska masih berbalut kontroversi. Ada yang mengklaim pembangunan jalur jalan itu akan merusak ekosistem Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL).

Konon ribuan makhluk berupa flora dan fauna penghuni taman yang disebut-sebut sebagai paru-paru dunia itu perlu dilindungi. Kita sulit menghitung berapa jumlah batang pohon, berapa jumlah ekor binatang, berapa kepala semut, berapa kepala ular, berapa moncong pelanduk, dan berapa mata monyet yang cemas jika "jadi manusia" seperti di iklan rokok tadi. Namun yang pasti beberapa pihak menentang pembangunan Ladia Galaska, dengan alasan binatang akan terancam, hutan akan punah.

Banjir yang melanda Bahorok Kabupaten Langkat Sumatera Utara dua bulan lalu, dikait-kaitkan dengan Ladia Galaska, meskipun pembukaan jalan itu belum dikerjakan. Sedikit mengada-ada! Pembenaran dan penyalahan telah dimulai oleh mereka yang menentang "pengrusakan lingkungan". Lobi telah jalan begitu intensif. Unit Manajemen Leuser (UML) yang berkantor di Medan dan mendapat upah dari badan internasional tentu harus aktif mempertahankan Leuser. Banyak yang menentang, sampai-sampai anggota parlemen ikut memanfaatkan isu Ladia Galaska untuk kepentingan kursi pada Pemilu ini.

Kita kurang mahfum dengan detail kerusakan lingkungan. Kita kurang tahu bagaimana proses siklus kerusakan flora dan fauna jika jalan sepanjang ratusan kilometer itu jadi dibangun. Kita tidak hafal siapa saja mendukung dan siapa saja menentang secara detail. Kita tidak mampu katagorikan siapa yang benar-benar ikhlas mempertahankan lingkungan, dan siapa saja yang mendukung karena untuk itu mereka dibayar. Kita tak mengerti apakah mereka menentang Ladia Galaska karena secara akademis memang menyalahi norma dan memudaratkan umat manusia, atau karena mereka takut kehilangan pekerjaan jika tidak melakukan hal itu.

Yang kita tahu ialah jalan tembus dengan nama Ladia Galaska bukanlah barang baru. Ia adalah jalur jalan yang pernah dirintis Belanda di masa lalu dan masih ada sampai sekarang sehingga ingin ditingkatkan. Yang kita tahu ialah jalur jalan yang sekarang bernama Ladia Galaska itu telah pernah ditingkatkan di tahun sembilan belas delapan puluhan, dan oleh Gubernur Ibrahim Hasan (waktu itu) diberi nama Jatora atau jalan terobosan antara. Yang kita tahu, pengganti Ibrahim Hasan --Syamsuddin Mahmud-- juga meneruskan program tersebut dengan konsep jalan jaring laba-laba dan sirip ikan.

Kita tahu juga di dua masa kegubernuran itu tidak ada tantangan dan protes sekeras sekarang. Waktu itu UML juga sudah ada, paling tidak di masa Syamsuddin Mahmud. Waktu itu sejumlah orang sudah beberja dan makan gaji dari kocek orang Eropa atas nama Leuser. Itu kita tahu, karena orang-orang kulit putih sering ke luar masuk hutan Aceh Tenggara untuk memotret tumbuh-tumbuhan seperti keuladi bui dan janeng. Mereka juga berhari-hari mengamati binatang khas Leuser -- yang tidak ada lagi di negeri mereka.

Sebagaimana kita tahu, mereka --orang-orang kulit putih itu-- juga tahu bahwa dengan klaim Leuser itu orang Aceh Tenggara dan Gayo Luwes tak bisa berbuat apa-apa. Sebab, untuk menanam jahe dan kemiri di tanah milik nenek moyang, mereka bisa dituduh "mencabuli" hutan suaka. Sebagaimana kita, mereka juga sadar bahwa membatasi hak-hak seperti itu tidak terlalu adil dipandang dari sisi kemanusiaan dan kehidupan. Tetapi mereka harus mempertahankan dan mengawasinya, karena mereka cinta lingkungan, cinta kehidupan, dan cinta humaniora. (Mudah-mudahan bukan karena cinta lembaran Euro, mata uang resmi Uni Eropa).

Mereka --orang-orang Uni Eropa itu-- tahu apa makna Leuser bagi kehidupan umat manusia dan kelestarian lat batat kayee batee (ekosistem). Mereka tahu bahwa 80 persen dari kawasan taman nasional itu berada dalam wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, dan selebihnya berada di wilayah Sumatera Utara, tetapi 90 persen kegiatan manajamen dan kebijaksanaannya dikendalikan di Medan. Mereka tahu dengan klaim taman nasional itu yang terkekang kegiatannya adalah rakyat Aceh, meski yang lebih banyak mendapat keuntungan adalah Sumatera Utara, karena pajak pendapatan pegawai UML dibayar ke Sumatara Utara.

Ya mereka tahu semuanya, seperti halnya kita tahu bahwa sekitar 1,7 juga rakyat di beberapa kabupaten di Aceh akan terus terisolir jika akses jalan sepanjang 504 km itu dibatalkan. Mereka tahu bahwa kehidupan perekonomian rakyat akan bangkit jika sentra-sentra produksi pertanian di kawasan tengah punya hubungan ke kawasan pantai sebagai daerah pemasaran dan jalur untuk eksport. Jika mereka tidak tahu, mana mungkin mereka jauh-jauh datang ke sini dengan alasan melindungi hutan dan lat batat kayee batee.

Semua yang kita tahu, mereka juga tahu. Sebaliknya barangkali banyak yang mereka tahu kita tidak tahu sama sekali karena kita tidak diperkenankan "mendekat" ke sana dengan alasan merusak lingkungan. Misalnya, kita tidak tahu, apa sebenarnya yang terkandung di perut Leuser dan taman nasionalnya selain flora dan fauna, selain bak keluladi bui dan bue kreh. Barangkali di sana ada kandungan emas atau bahan-bahan mineral berharga lainnya. Kita juga tak mungkin tahu suatu ketika secara diam-diam ada orang yang nemambang bahan-bahan itu lalu secara diam-diam dibawa ke luar, karena kita tak bisa menjenguk ke sana.

"Susah jadi manusia!" kata monyet jantan dengan sinis dan barangkali sedang gelisah. Susah jadi manusia, itu aja nggak tau! Yang kita tahu bahwa Presiden Megawati sangat arif ketika pada kunjungan 7 Maret lalu tidak meresmikan Ladia Galaska, namun memberi pernyataan bahwa program tersebut akan diteruskan. Dan di sana ada tepukan gemuruh hadirin. Dan di sana wajah Abdullah Puteh selaku pengaggas dan penabal nama Ladia Galaska terlihat berseri- seri. Juga wajah Muhyan Yunan, sosok yang banyak terlibat dalam mengujudkan impian orang-orang terisolir: Ladia Galaska!

Seperti halnya iklan lain yang dipasang di pinggir jalan dan taman, iklan dengan kalimat "Susah Jadi Manusia" juga berganti. Ada daur dan siklus, seperti halnya pergantian flora dan fauna di kawasan Leuser. Seperti halnya pergantian antara satu penderitaan ke penderitaan lain yang membaluti sekitar 1,7 juta rakyat Aceh karena terkurung di pedalaman akibat tidak punya akses jalan yang memadai.

Kita setuju untuk menjaga lingkungan dan ekosistem. Kita sepakat bahwa orang-utan yang ada di Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) harus dipertahanan dari pepuhanannya. Tetapi itu tidak cukup. Sebab, relakah kita jika jutaan manusia harus terus mengalah dengan orang-utan? Apakah mereka juga harus menjadi "orang-utan" karena kita mengisolasinya demi keselamatan orang-utan yang sebenarnya? Presiden Megawati benar, ketika mengatakan dia sayang kedua-duanya: manusia binatang, namun Ladia Galaska juga diperlukan.

Kini sekitar 1,7 juta manusia perlu dikasihani, di samping kita menyayangi para monyet dan siamang. Kita sadar bahwa sang monyet jauh lebih beruntung dari manusia. Para binatang yang sering menjadi hama bagi manusia itu punya wali dan pembelanya, yaitu orang-orang Eropa dan orang-orang "suruhan"nya. Sedangkan orang- orang pedalaman Aceh yang berdiam dekat hewan yang bernasib baik itu, tidak punya jalan, tidak punya apa-apa, kecuali kemiskinan dan keterasingan. Itulah sebabnya monyet di papan iklan berani mengatakan: "Susah jadi manusia!"

Courtesy: www.indomedia.com/serambi/2004/03/150304opini.htm

1 comment:

Anonymous said...

Pak, saya tertarik dgn tulisan Bapak.Sepertinya Bapak mewakili salah satu stakeholder. Dari sisi siapakah Bapak menulis tentang proek Ladia Galaska ini?

Saya IIn yang sedang tesis masalah pembangunan jalan di kawasan konservasi.

Boleh tau latar belakang Bapak? Saya sedang mencari nara sumber dari masyarakat. email saya: mardiarini@yahoo.co.id

Terimakasih Pak.