Tuesday, January 9, 2007

Ada Apa Dengan Cina?


[ penulis: Barlian AW | topik: Budaya ]


Sebuah sinetron (sinema eloktronik) di satasion televisi swasta, judulnya amat romantis: Ada Apa Dengan Cinta yang sering disingkat dengan AADC. Ya! Ada apa dengan cinta? Sinetron, cinta, dan Cina sekarang semakin menyatu. Sejumlah bintang sinetron adalah gadis belia keturunan Cina, alias Tionghoa, alias Chinese (baca: Caines).

Era reformasi tidak hanya membolehkan orang-orang Cina di Indonesia merayakan imlek secara terbuka dengan tarian barongsainya. Tetapi juga melahirkan sejumlah bintang dari kalangan Cina.

Tapi jauh sebelumnya, di Aceh “bintang” dari kalangan Caines tersebut telah lahir dan berkiprah. Bagi aktivis Angkatan 66, nama Fransidi begitu melekat. Dialah salah seorang pemuda (waktu itu) keturunan Cina alias Tionghoa di Banda Aceh yang bersama-sama kaum pribumi, tidak sekadar bergaul, tetapi juga ikut berjuang menegakkan Orde Baru. Dia amat dekat dengan almarhum H Di Murthala, tokoh pemuda yang legendaris. Dia boleh dibilang simbol asimilasi dan sekaligus cermin keharmonisan antara kaum Cina dengan orang Aceh.

Tidak hanya Fransidi. Ada orang Cina yang sangat “membumi” dengan nama yang berbau Islam ––membuat kita salah sangka: Si Din! Mirip-mirip Fakhruddin, Nurdin, Nasruddin, atau nama lain yang berujung dengan Din, yang berarti agama atau Ad-Din. Tapi Si Din ini Cina keturunan Khek yang berjualan kelontong di Pantonlabu, Aceh Utara, pada era enam puluhan dan tujuh puluhan. Cara, bahasa, gaya, dan kesehariannya, sungguh sangat Aceh. Kadang-kadang dia juga pakai peci hitam.

Hasil penelitan yang dilakukan A Rani, dosen Fakultas Dakwah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh, menunjukkan hubungan etnik Cina dengan penduduk asli Aceh cukup harmonis, meskipun mereka cenderung mempertahankan identitas ke-Tionghoa-annya (Serambi, 30/8).

Konon, Peunayong itu sendiri berasal dari bahasa Cina yang berubah dengan ciri khas vokal eu. Tapi pasar ini ––terutama pasar sayur–– sedikir didatangi pribumi karena barang-barangnya mahal, setara daya beli orang Cina yang dianggap kaya-kaya.

Dalam pikiran orang awam semua Cina itu kaya. Padahal cukup banyak keluarga Cina yang berdiam di Kampung Mulia dan Kampung Laksana ––tak jauh dari Peunayong–– adalah orang miskin. Mereka bekerja sebagai tukang, atau pembuat tahu.

Dalam masyarakat Aceh, kaya miskin, asal bertemu orang Cina selalu disapa dengan toke. Maka ada Toke Alok, Toke Acai, Toke Alek, atau Toke Asuk
Sapaan toke kita temukan juga dalam “dalil” keseharian masyarakat Aceh. Pertama melalui ungkapan: Aceh teungku, Melayu abang, Cina toke, Kafe tuan. Ini tentu muncul di masa penjajahan Belanda, ketika kita masih “bertuan” dengan Belanda yang oleh orang Aceh dipanggil Kaphe atau kafir (tidak Islam). Dan dalam panggilan toke itu pulalah harmonisasi berlangsung antara orang Aceh dengan orang Cina. Ini terjadi ketika orang-orang kampung “turun” ke kota untuk berbelanja di kedai-kedai milik orang Cina pada hari peukan.

Seperti halnya di Tanah Melayu (Malaysia), orang-orang Cina di Indonesia cenderung tinggal di kawasan kota, meskipun kota kecil. Menurut catatan, hubungan orang Cina dengan Aceh yang dimulai sejak abad 13, semakin berkembang ketika keduanya saling membutuhkan. Sebagai pedagang, orang Cina amat tertarik dengan rempah-rempah yang ada di Sumatera. Mula-mula sekadar singgah, kemudian meretap. Ketika sudah menjadi “penduduk”, yang menggeluti sektor perdagangan, mereka menguasainya dengan baik, mulai perdagangan besar sampai kedai-kedai kelontong dan runcit.

Di Aceh misalnya, keberadaan orang Cina sudah sampai ke kota-kota kecamatan. Malah Cina di kota kecamatanlah yang paling giat berasimilasi. Nama Simbun Sibreh ––sebuah toko P & D terkemuka yang terletak di jantung Banda Aceh–– adalah bukti asimilasi dan adaptasi. Konon nama tersebut diambil dari nama kota kecamatan di Aceh Besar, yaitu Sibreh, tempat sang toke tinggal dan “makan asam sunti” Aceh. Juga Toko Bayu di Jalan Perdagangan Lhokseumawe, milik seorang warga keturunan Cina yang memulai karir dagangnya secara kecil-kecilan di Bayu, ibukota Kecamatan Syamtalira B, kira-kira 16 km tenggara Lhokseumawe.

Berhadapan dengan langganan lamanya, pemilik Toko Simbun di Banda Aceh atau Toko Bayu di Lhokseumawe lebih senang berbahasa Aceh dari bahasa Indonesia, padahal mereka adalah generasi kedua yang tidak pernah tinggal di Sibreh atau Bayu. Sebagaimana orangtua mereka, para toke muda ini menganggap bahasa dan nama dapat memperlancar bisnis mereka. “Orang Cina yang pandai berbahasa Aceh lebih terbuka dan lebih bersahabat dibandingkan dengan etnik Cina yang tidak dapat berbahasa Aceh,” urai Rani tadi.

Sosiolog Unsyiah Ahad Humam Hamid menyebutkan, negeri-negeri maritim seperti Aceh adalah kawasan yang paling subur bagi asimilasi dan adaptasi. Artinya, penduduk asli sangat toleran terhadap pendatang sejauh mereka tidak mengusik kepentingan pribumi.

Asal usul orang Aceh pun, sebenarnya tak bisa lepas dari bertemunya para pelaut yang singgah di daratan Aceh yang kemudian berasilmilasi. Berbeda dengan Cina yang cenderung mempertahankan dan tradisi leluhur, imigran lain seperti India segera memeluk Islam dan kawin dengan pribumi.

Namun salah satu kelihaian orang-orang Cina –– di mana pun–– adalah mengambil hati orang pribumi, tanpa harus kawin atau berpindah agama. Meskipun Islam begitu kuat di Aceh, tetapi tingginya rasa toleransi sebagai penduduk kawasan maritim, membuat orang-orang Cina begitu betah tingal di Aceh, sampai-sampai mereka mendiami kota-kota kecil sepanjang rel kereta api, dari Banda Aceh hingga Kuala Simpang.

Namun demikian, bukan bermakna tak ada “hari buruk” bagi orang Cina. Peristiwa G30S/ PKI tahun 1965, membuat ribuan Cina di Aceh terancam. Selain mereka dituduh dekat dengan PKI, pemutusan hubungan diplomatik antara Indonesia dengan RRT (Republik Rakyat Tiongkok), membuat kaum Cina di berbagai kota besar sampai ke kota kecamatan harus meninggalkan Aceh, setelah berlangsung aksi “ganyang Cina” oleh massa KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia) dan KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia). Eksodus besar-besaran di kalangan kaum Cina pun terjadi. Sampai sekarang Cina eks Aceh tersebut berdiam di Tanjung Mulia, Mudan, jalan arah Belawan.

Krisis politik tahun 1965-1966 juga membuat beberapa aset mereka di Aceh hilang. Misalnya gedung sekolah. Gedung SMA Negeri 2 dan SMP 4 adalah eks sekolah Cina di Banda Aceh. Sama halnya dengan gedung di kawasan Pusong Lahokseumawe yang pernah menjadi SMEA Negeri dan PGA Negeri. Atau Gedung Ampera di jantung Langsa yang juga bernah menjadi SMEA dan Komisariat KAPPI Aceh Timur.

Setelah Orde Baru berkuasa, banyak orang Cina yang berubah nama. Mungkin juga Fransidi yang dekat dengan tokoh Angkatan 66 tadi. Mereka tidak dibolehkan membangun sekolah khusus yang belajar sempoa serta bahasa Cina dengan aksaranya. Setelah kehilangan “habitat” tadi, di Banda Aceh kebanyakan anak Tionghoa ini bersekolah swasta di SMA Methodist di Jalan Pocut Baren, juga SMP Budi Dharma Jalan Iskandarmuda dekat Blangpadang. Jika mereka sekolah negeri, maka SMU Negeri 3 menjadi pilihan. Kalau di perguruan tinggi? Kebanyakan mereka memilih Fakultas Teknik Unsyiah.

Di tingkat nasional, perihal orang-orang Cina yang nasionalis cukup banyak. Dalam senarai Angkatan 66 misalnya, nama-nama Soe Hook Gie dan Soe Hook Gun begitu terkenal. Soe Hook Gie telah almarhum, sedangkan Soe Hook Gun yang berubah dengan nama Indonesia menjadi salah seorang intelektual. Begitu juga dengan Liem Bian Kun dan Liem Bian Kie berganti menjadi Sofwan Wanandi dan Jusuf Wanandi. Jusuf seorang pemikir sedangkan Sofjan menjadi pengusaha. Begitu juga seorang aktivis lainnya karena begitu dekat dengan pribumi akhirnya ––sampai kini –– kita kenal dengan nama Harry Tjan Silalahi.

Di Aceh, tak kita temukan tokoh Tionghoa yang landing seperti Wanandi bersaudara. Atau seperti Arief Budiman, seorang intelektual. Di dunia bisnis tidak banyak orang Cina menjadi pengusaha besar seperti di kota-kota lain. Fransidi pun yang aktivis dan pebisnis sudah hijrah dari Aceh. Kecuali kondisi daerah yang selalu bergolak, orang Aceh sendiri adalah para pedagang ulung yang mampu bersaing dan mengungguli bisnis kaum Cina. Sekitar delapan tahun lalu Gubernur Aceh Syamsuddin Mahmud dan Bupati Aceh Besar Untung Yuwana mengundang investor atau toke Hongkong untuk berbisnis di Pulau Aceh ––gugusan pulau di perairan Aceh Besar. Tapi gagal juga akhirnya.

Meskipun banyak pribumi yang kaya-kaya, mitos Cina kaya dan senang tetap hidup dalam masarakat. Dengan patron bahwa Cina itu kaya-kaya dan senang-senang pula, maka ada pameo bagi orang bangsat dan tidak mau beribadat: Lagee Cina gasien (seperti Cina miskin). Artinya di dunia merana di akhirat pun sengsara. Padahal Cina hanya etnis. Banyak mereka yang Islam dan alim serta taat.

Meskipun ada anjuran agama untuk belajar sampai ke negeri Cina, kita masih punya sisi pandang yang unik terhadap saudara kita ini. Sebenarnya kita harus banyak belajar dari kaum minoritas Cina yang bisa hidup aman sentosa di tengah-tengah mayoritas kaum pribumi. Kita patut membuka kunci: Ada apa dengan Cina? Tanya pada Si Din di Pantonlabu. Kita tidak boleh hanya asyik nonton sinetron AADC alias Ada Apa Dengan Cinta atau mengagumi kemolekan seorang Agnes Monica di senetron yang lain.■


courtesy:http://www.serambinews.com/index.php?aksi=bacaopini&opinid=88

No comments: