Tuesday, January 9, 2007

Safiatuddin Sang Penggagas Tamaddun


[ penulis: Barlian AW | topik: Budaya ]


Gubernur Aceh Abdullah Puteh, Selasa (10/8) meresmikan tugu Ratu Safiatuddin di pintu gerbang arena PKA IV Banda Aceh yang juga bernama Taman Ratu Safiatuddin. Siapa sebenarnya Safiatuddin itu?

Perempuan bernama asli Putri Safiah ini adalah satu dari dua anak Sultan Iskandar Muda. Seorang anak Iskandarmuda lainnya, Meurah Pupok, dibunuh karena dituduh berbuat zina. Nama lengkap Safiah setelah ditabal sebagai Ratu menjadi Sri Ratu Tajul Alam Safiatuddin.

Kisah dinobatkan Safiah sebagai Ratu terkait erat dengan krisis kepimpian dalam Kerajaan Aceh. Karena Meurah Pupok telah tiada, untuk pengganti Iskandar Muda terpaksa diangkat Alaidin Mughayatsyah, manantu Sultan. Raja dengan gelar Iskandar Thani ––Iskandar kedua–– ini adalah putra Sultan Ahmad dari Pahang, yang dibawa Iskandar Muda ke Aceh sepulang dari operasi penaklukan Kerajaan Pahang di Sememanjung Malaya. Anak angkat ini lalu dikawinkan dengan putri Iskandar Muda, Safiah.

Hanya lima tahun memerintah, Iskandar Thani meninggal, lalu pada 15 Februari 1641, tiga hari setelah Iskandar Thani mangkat, para pembesar kerajaan dan seorang ulama terkemuka Teungku Abdur Rauf Al-Singkili dalam sebuah musyawarah akhirnya menyepakati istri almarhum, yaitu Putri Safiah sebagai Ratu. Safiatuddin memerintah Aceh selama 35 tahun (1641 sampai 1676).

Seperti pernah disinggung dalam tulisan sebelumnya, periode 35 tahun adalah masa yang sangat lama, melebihi masa kekuasaan Soeharto selama 32 tahun dan Mahathir Muhammad Perdana Menteri Malaysia selama 23 tahun. Tetapi masa 35 tahun bukanlah masa yang tanpa riak dan badai. Ratu menghadapi berbagai protes, baik terhadap kebijakannya, maupun tuntutan kaum oposisi yang tidak setuju pengangkatan Ratu. Mereka ngotot bahwa perempuan tidak boleh menjadi wali ––dalam soal keluarga dan harta–– apalagi untuk menjadi seorang Raja.

Pertentangan tersebut dikabarkan menjadi penyebab terbunuhnya beberapa tokoh besar seperti Nuruddin ar-Raniry dan Teungku Fakih. Ada tuduhan mereka disuruh bunuh oleh Ratu. Namun, sebagian lagi berpendapat malapetaka itu karena balas dendam oleh Hamzah Fansuri bersama murid-muridnya karena sejumlah kitab Sulok karangan Hamzah Fansuri dan teman-temannya dibakar oleh kerajaan.

Namun, karena kecerdikan, ketekunan, pengalaman, dan pendidikannya, Ratu luput dari upaya “kudeta”. Konon lagi dia didukung penuh oleh ulama terkemuka Abdur-Rauf yang juga dikenal dengan nama Teungku Syiah Kuala. Dengan posisi dan komposisi serta kekuatan yang demikianlah Ratu mampu mempersatukan rakyatnya dan bahkan berhasil pula menumpas kekuatan kolonial Belanda di beberapa daerah taklukan Aceh seperti di Tiku, Pariaman, Padang, Salindo, Painan, dan Indra Pura.

Bagi para penentang dia dijadikan Ratu selain karena berdalih agama, juga menganggap perempuan lemah dan tanpa inovasi. Tetapi tak selamanya hal itu benar. Sebagai seorang Ratu, Safiatuddin punya kreatifitas dan inovasi. Dalam politik, dia mampu membentuk visi dan menyatukan rakyat untuk melawan kolonial. Nasinalisme dan doktrin yang ditanam Sang Ratu: wilayah Nusantara adalah milik rakyat yang berada di kawasan ini, sehingga apa pun bentuk pendudukan dan invansi orang-orang Eropa harus ditentang dan dilawan.

Dia melakukan transformasi sistem pemerintahan dengan memperkokoh Balai Mahkamnah Rakyat, yang tidak cuma dianggotai oleh para fukaha, tetapi juga memperbanyak tokoh wanita ––wakil-wakil daerah mukim. Nama-nama mereka ialah: Nyak Bunga, Halifa, Sanah, Munabinah, Siti Cahaya, Mahkiyah, Bukeli, Nyak Ukat, Nyak Puan, Nadisah, Jibah, Uli Puan, Siti Awan, Nyak Angka, Nyak Tampli, Mawar, dan Manis.

Wanita juga diangkat menjadi inspektur, yaitu penjaga dan pengontrol sekeliling istana. Inilah sebenarnya konsep emansipasi yang ril oleh Ratu. Apa yang diperjuangkan kemudian oleh beberapa tokoh yang disebut-sebut sebagai konsep emansipasi, sesungguhnya sangat terlambat. Sebab jauh sebelumnya hal itu telah dicanangkan dan dipraktekkan dalam kenyataan sehari-hari di Kerajaan Aceh.

Kecuali itu ada beberapa lembaga penting lain yang dibentuk. Misalnya Balai Laksamana berfungsi sebagai pelaksana tugas-tugas pemerintahan atau badan eksekutif yang secara khusus menangani hal-hal yang berkenaan dengan urusan perang dan persenjataan. Lalu, Balai Fardah untuk masalah finansial, pajak, dan mata uang. Sedangkan Balai Musyawarah merupakan badan legislatif.

Safiatuddin juga amat berperan memajukan ekonomi pada masanya. Dia mengumpulkan mata uang dirham lama yang dipakai masa Sultan sebelumnya untuk diganti dengan mata uang dirham baru. Mata uang baru itu mempunyai sisi yang berbeda, yaitu pada sisi muka tertulis nama Paduka Seri Sultanah Tajal-Alam. Sedangkan pada sisi sebelah lagi tertulis Safiat al-Din Syah. Banyaknya jumlah uang yang dikeluarkan oleh kerajaan erat kaitannya dengan ditemukannya tambang emas di beberapa daerah di Aceh, karena mata uang itu terbuat dari emas.

Kecuali itu, dalam sisi tamaddun dan peradaban ada yang paling penting yang harus dicatat menyangkut reputasi Sang Ratu. Di masa Safiatuddin berlangsung sebuah upaya pengembangan ilmu pengetahuan dan penyebaran ajaran agama Islam ke seluruh Asia Tenggara. Dia juga yang membiayai dan mengirim para ulama untuk belajar ke luar negeri. Sepulangnya, ulama tersebut diminta untuk menulis buku atau kitab. Abdur Rauf al Singkili menulis kitab yang dijadikan pedoman umat Muslim di Asia Tenggara dari dulu hingga kini. Kitab tersebut berjudul Mir´at al tullab fi Tashil Ma´rifat Ahkam al-Syar´iyyah lial Malik al Wahhab. Isinya berkenaan dengan hukum dan sumber karya pertama dalam bahasa Melayu yang selesai tahun 1663.

Selain Abdur Rauf al Singkili, Nuruddin Ar-Raniry juga seorang ulama yang sangat produktif. Dia menulis kitab yang menyangkut sastra, agama, hukum, dan ilmu-ilmu lain yang dibutuhkan waktu itu. Di antara kitab yang yang sangat terkenal adalah Shirathul Mustaqim, Bustanul Salathin fi Dikril Auwalin wal Akhirin, Jawarul Ulum fi Kasyfma´lum, Syaiful Quttub, Hujjatul Shiddiq, Al-fathul Mubin Al Muhiddin, dan Kaifiyatul Shalat.

Dari hasil karya para ulama tersebut mencerminkan betapa hebatnya peran dan pengaruh kekuasaan Safiatuddin pada saat itu. Seandainya Safiatuddin bukan seorang yang hebat dan menghargai pengetahuan, dia tidak mampu menjadi pendorong bagi para ulama dalam menghasilkan karya-karya tulis besarnya. Apalagi pada saat itu fasilitas (seperti komputer, mesin ketik dan transport, dll) tidak tersedia sama sekali. Apa yang dihasilkan para ilmuan masa itu bisa jadi mampu mengalahkan para ilmuan kita masa kini, meski institusi pengajian tinggi kita disebut-sebut sudah cukup maju.

Di bidang agama, peran Ratu Safiatuddin juga sangat signifikan terutama dalam rangka mengembangkan Islam di luar Aceh. Safiatuddin mengirim ulama-ulama Aceh ke negeri Siam (Thailand), misalnya, guna melaksaakan misi dakwah untuk penduduk yang belum atau baru memeluk Islam.

Dengan peran seperti itu agaknya kita patut menempatkan Safiatuddin tidak hanya sebagai seorang Ratu yang mampu bertahan selama 35 tahun. Tetapi yang lebih penting ialah sang Sultanah ini telah meletakkan dasar-dasar dan tradisi keilmuan sebagai pilar peradaban bagi masyarakat Aceh pada waktu itu, yang bias dan gemanya masih terasa hingga kini. Dan karena bias itulah maka Aceh dicatat sebagai pusat ilmu pengetahun, cikal bakal kesusastraan Melayu, dan juga cermin dari sebuah kemajuan kaum perempuan di Nusantara.

Untuk mengungkapkan dan menempatkan keagungan itu, agaknya sesuatu yang monumental diperlukan pada masa ini. Kalau kemudian sebuah taman yang dipilih untuk mengenang nama dan jasa Ratu Safiatuddin, maka itu pun sebuah pilihan tepat bagi Gubernur Abdullah Puteh selaku penggagas PKA IV dan Marlinda Abdullah Puteh sebagai pemrakarsa penabalan nama Safiatuddin.

Itu menjadi pas karena Sang Ratu adalah penggagas tamaddun dan penganjur tradisi keilmuan yang mampu memberi spirit bagi generasi kini dan mendatang. Safiatuddin ratu nyang ceudah, keurajeuen luwah raya lagoina. Lhee ploh limong thon geumat peurintah, taman nyang indah ta tueng pusaka.

courtesy: http://www.serambinews.com/index.php?aksi=bacaopini&opinid=47 

No comments: