Tuesday, January 9, 2007

Jen-jen Jok: Geudam Geudum Tambo Jipeh...


Di mana-mana terdengar orang berbincang perihal kuweh muweh. Di mana-mana orang berbicara soal baju anak-anak yang kadang telah terbeli, dan sebagian belum terbeli. Kesulitan ekonomi akibat sulitnya mencari uang di tengah badai dan petir, ikut mempengaruhi masyarakat dalam menyambut Idul Fitri kali ini. Sebagian memegang prinsip nibak putoh bahle genteng, yang penting ada walau ala kadarnya.

Yang terpenting, zakat fitrah bisa tertunaikan.
Ya, hari hari raya segera tiba! Maka Syaribanun pun teringat akan lirik lagu Aceh: Si gantang dua gantang/ Breuh bie ngon leukat adang/ Top teupung peugot keu timphan/ Woe bak tuan uroe raya..... Tak ada rencana memang dia akan pulang ke rumah mertua dengan membawa timphan, karena dia tidak punya lagi mertua. Dia cuma pada hari raya, punya rencana setelah sembahyang Ied, ingin ke rumah ibu mertua suami. Ibu mertua suami? Ya, ibu mertua suami artinya ibu Syaribanun sendiri. Dan untuk itu dia perlu membuat timphan. Bagaimanapun sulitnya, bagaimanapun pacekliknya, timphan tak boleh tidak ada di hari raya.

Memang sekarang orang seolah lupa ikhwal timphan ini, setelah orang tak pernah tahu lagi ada pepatahnya yang menyatakan, peunajoh timphan piasan rapa-i. Orang-orang Aceh sekarang sudah ikut-ikutan bikin lontong untuk hari raya dan mengabaikan timphan. Untuk praktisnya menyediakan lontong boleh-boleh saja, tapi tak boleh tanpa timphan. Jangan sampai lontong bisa menjadi pengganti timphan. Jika timphan telah diganti lontong sama artinya dengan rapa-i boleh berganti gamelan, sama artinya dengan seudati bisa diganti dengan wayang. Tragis bukan?

"Sekarang di kota-kota, walaupun itu keluarga Aceh tok-tok, seolah hari raya identik dengan lontong. Ini salah kaprah," nasihat Jen- jen Jok. Jangan mengikut arus, lagee leumo kap situek. Meu eu-eu kap ya kap semua. Banyak orang kita yang lagee leumo kap situek. Tidak hanya soal lontong tadi. Tapi ada lain, misalnya ketika mend- engar orang mengucapkan kata sholat, dia pun bilang sholat untuk kata sembahyang. Padahal yang benar ialah "shalat" yang berasal dari bahasa Arab. Orang kita sekarang biar dikira modern dan terpelajar suka bilang: "Saya mau umroh ke Tanah suci". Padahal yang benar ialah umrah yaitu pergi Baitullah di luar musim haji.
"Mana ada dalam bahasa Arab bunyi konsunan o, yang ada ialah a. Wee jipoh mim kiwieng bareh um, ra dipoh ha ateueh bareh rah, umrah....! Habis perkara. Jangan sampai menukar kata shalat menjadi sholat, umrah menjadi umroh hingga menyusahkan lidah waktu menguca- pkannya," kata Jen-jen Jok suatu sore menjelang buka puasa, ketika seorang pegawai kantoran mengatakan dengan bangga bahwa bossnya sedang umroh bersama keluarga. "Apa itu umroh? Apa meu-uroh lagee leumo gadoh kawan watee luwah blang," katanya lagi, mempertegas. Agak sinis, memang! Tapi, itu harus sekali-sekali agar tidak telanjur enak.

Penjajahan budaya selama bertahun-tahun telah membuat masyarakat jadi latah, dan kadang-kadang melupakan nilai-nilai yang benar. Sebuah iklan di radio pemerintah yang memberi informasi kepada masyarakat Aceh ikhwal ada beras murah dari Dolog Aceh, nyaris kehilangan makna akibat sang pembuat iklan tidak mengerti kultur Aceh. Tak ada penjelasan sama sekali apa itu OPK yang terkait dengan beras yang konon berharga murah itu.

Kita masih sangat senang dengan akronim-akronim, semisal OPK itu. Padahal di kampung-kampung orang sedang sangat trauma kalau dituduh GPK yang kedengarannya tak jauh dengan OPK. Juga adanya anjuran bahwa untuk memperoleh beras OPK itu harus berurusan dengan kelurahan, kenapa tidak dengan keuchik atau kepala kampung.

Kelurahan adalah sebuah nama dan sistem yang telah membunuh adat dan reusam Aceh. Kelak, di Aceh takkan lagi yang namanya kelurahan sebagaimana dimaksudkan dalam UU Nomor 5 tahun 1979, produk Orde Baru itu. Tetapi, Dolog Aceh tak bisa memahaminya, sehingga iklan yang bertujuan baik ini --dengan menjual beras murah Rp 1.000 per kilogram-- pesannya sama sekali tidak sampai kepada masyarakat.

"Rakyat yang tinggal di kampung, bukan di kelurahan tak akan mungkin memperoleh beras murah itu, karena di tempat mereka tinggal tak ada kantor lurah untuk mereka mendaftar," kata seorang sahabat Jen-jen Jok sambil menambahkan: "Itu belum lagi dia dituduh OPK, atau OTK alias orang-orang tak dikenal, yang populer selama ini," tambahnya. Memang komunikasi yang salah telah membuat rakyat bertahun-tahun seolah tak merasa memiliki apapun yang datang dari atas.

Akibatnya banyak orang yang mendengar adanya iklan berulang-ulang itu tak berani mengambil beras. "Tapi jangan khawatir," kata Jen- jen Jok, "Meskipun tak banyak yang membeli, tapi program ini akan sukses. Sebab, namanya saja beras murah, bisa banyak peminat lain. Jangankan itu. Dulu kedele yang seharusnya diperuntukkan untuk bibit bantuan untuk petani, bisa jatuh ke pabrik tempe," kata Jen- jen Jok lagi.

Syaribanun tak berkomentar soal ini. Sebab, yang sedang dalam pikirannya ialah bagaimana dalam keadaan prihatin sekarang, hari raya bisa disambut secara khidmad. Dengan uang yang pas-pasan, kebutuhan bisa terpenuhi, minimal kebutuhan pokok. "Ya, timphan masuk pokok secara duniawi di hari raya. Secara ukhrawi, ya menunaikan zakat fitrah. Keluarga Jen-jen Jok telah pun menyelesaikan zakat di malam dua puluh tujuh Ramadhan.

Dari radio transistor tua, terdengar lamat-lamat suara penyanyi Ahmad Jais: Selamat hari raya/ Aidil Fitri mulia/ Ampun maaf dipinta/ Mensuci semua dosa/ Setahun menghilang.....? Sekarang menjelang..../ Selamat....selamat.../ Selamat hari raya..... Sebuah lagu lama yang sangat populer sejak tahun enam puluhan. Selepas lagu itu, Syaribanun kembali melantunkan dengan gaya meujangeunnya: Si gantang dua gantang/ Breuh bie ngon leukat adang/ Top teupong peugot keu timphan/ Woe bak tuan uroe raya.....

Namanya juga meujangeun, tentu tak didengar orang lain, termasuk sang suami yang duduk hanya beberapa depa darinya. Syaribanun teringat ibunya yang akan menunggu anak-anak dan para cucu di hari raya. Dia membayangkan seusai makan juadah, mereka sama-sama akan pergi menziarahi kuburan sang ayah. Sebuah tradisi yang menyimbolkan bahwa yang namanya orangtua, meskipun telah meninggal, tetap harus dikunjungi di hari baik bulan baik, seperti pada Idul Fitri kali ini. Geudam geudum tambo jipeh, sang kajadeh uroe raya.....Barlian A.W


No comments: