Friday, February 2, 2007

Mimpi Ingin Jadi Walikota

 

[ penulis: Barlian AW | topik: Pemerintahan ]


Hampir semua sisi kehidupan kita diatur oleh undang-undang dan qanun, atau norma-norma. Kalaupun ada yang belum diatur hanya satu, yaitu mimpi! Karena tak ada aturan dan perda, maka siapa saja bebas bermimpi. Berbeda dengan buang sampah yang tak boleh di sembarangan tempat, bermimpi di mana pun boleh. Maka, bermimpilah sebebas-bebasnya, termasuk mimpi tentang sampah dan mimpi tentang orang yang melarang buang sampah di dalam kota yaitu walikota.

Begitulah saya bermimpi ingin mencalonkan diri jadi walikota. Dan mimpi itu berlangsung tadi malam menjelang dilantiknya 30 orang anggota DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) Kota Banda Aceh pada Sabtu, 11 September 2004, hari ini. Ada 21 muka baru yang muncul di badan legislatif hasil pemilu (pemilihan umum) lalu. Kita nyatakan hormat dan penuh percaya kepada mereka. Kalaupun ada desas desus, maka asas praduga tak bersalah berlaku di sini. Kita harus berputih hati tanpa curiga.

Dalam mimpi semalam, seolah saya datang menyalami ke 30 anggota DPRD Kota Banda Aceh yang sudah bekerja di kantor mereka dengan program dan jadwal sangat padat, antara lain: bersidang, pergi pansus, hitung anggaran, bagi komisi, dan studi banding. Saya menjabat erat tangan mereka, terutama tangan delapan anggota dari PKS (Partai Keadilan Sejahtera) yaitu partai yang paling banyak menuai kursi dalam musim panen kali ini. Ini berkat sikap dan program mereka yang selaras dengan kepentingan rakyat. Golkar dan PPP yang sangat signifikan sejak Orde Baru, kali ini hanya masing-masing mendapatkan lima kursi.
Untuk mereka yang dari PAN, jabat tangan saya juga sangat erat. Soalnya, PAN, PPP, Golkar, dan PKS adalah partai yang berhasil menduduki posisi pimpinan dewan, yaitu seorang ketua dan tiga wakilnya. Tak jelas dalam mimpi saya itu siapa yang ketua dan siapa-siapa yang duduk sebagai wakil ketua. Pokoknya masing-masing mereka seorang pimpinan yang bersifat kolektif.

Mereka menanyakan, kenapa saya sowan ke mereka jika ingin mencalonkan diri menjadi Walikota Banda Aceh? Saya bilang mereka adalah pilihan rakyat secara langsung dalam pemilu yang sangat demokratis. Bisa tidaknya saya jadi walikota sangat tergantung pada budi baik mereka. Dalam mimpi itu, saya telah pergi ke Pak Syarifuddin Latief, pejabat walikota sekarang, dan beliau mengatakan tidak maju lagi. Jika beliau maju, tentu saya takkan mau melangkahinya.

Saya jelaskan itu kepada anggota DPRD tadi, kepada Pak Waki kita. “Tapi sekarang kami tak ada lagi hak pilih memilih. Ke depan berlaku pilsung alias pemilihan langsung,” kata salah seorang ketua fraksi. Saya tidak menjawab, sampai mereka katakan, wewenang mereka sekadar mengajukan calon. Itu pun barangkali akan ada aturan seseorang calon dibolehkan maju secara independen tanpa melalui pengajuan DPRD atau fraksi. Jadi tak ada apa-apa lagi.

Saya amat menghormati argumen wakil kita itu. Betapa ikhlasnya dengan menjunjung tinggi aturan dan prinsip demokratisasi sambil menempatkan rakyat pada posisi yang benar, meskipun secara politis rakyat telah memberi hak-haknya kepada mereka. Mereka juga mengatakan, sebenarnya mereka lebih senang seorang kepala daerah apakah walikota atau bupati dipilih langsung oleh rakyat. Dengan demikian, mereka takkan diterpa isu makan uang dari calon atau tim sukses seorang calon seperti yang sudah-sudah.

Saya tekesima. Mereka tak ingin langkah-langkah mereka membuka peluang untuk fitnah. “Kami tidak mau disebut terlibat money politic alias politik uang uang. “Bapak kan tahu, jangan kan politik uang, dengan ’uang politik‘ saja rekan-rekan kami sudah kapok. Biar saja rakyat memilih pemimpinnya secara langsung. Kalaupun ada yang mau kasih uang, maka kasihlah kepada rakyat sebagai tanda terimakasih, bukan sebagai sogok” kata Pak Waki yang hadir dalam mimpi saya semalam.

Betapa mulianya hati Pak Waki kita. Mereka mulai memikirkan rakyat. Dan itu katanya, sudah menjadi komitmen partai sejak masa kampanye. Saya percaya saja. Namun berpikir juga bahwa memberikan uang “terima kasih” kepada sekitar 200.000 orang pemilih dalam Kota Banda Aceh jauh lebih rumit daripada menyediakan 30 lembar cek untuk anggota DPRD. Itu pun jika mereka mau, karena dengan semakin meningkatnya nilai moralitas, anggota DPRD dan rakyat takkan lagi mau main-main dengan uang, apalagi uang telah membuat rekan-rekan anggota DPRD di seluruh Indonesia terpaksa berkantor di “gedung prodio”.

Meski begitu saya tetap yakin pemilihan walikota dan bupati di Aceh kali ini belum dilaksanakan dengan sistem pemilihan langsung sebagaimana menjadi tuntutan para demonstran beberapa waktu lalu, lantas karena desakan tersebut oleh DPRD memproduk qanunnya. Pak Waki tampaknya kurang yakin dengan apa yang saya wacanakan. Katanya, selain qanun, UU nomor 18/2001 tentang Otonomi Khusus NAD mengisyaratkan pilsung di Aceh. Anggota KIP (Komite Independen Pemilu) sedang direkrut.

Menurut saya, kalau pilsung berpegang pada qanun bukan pada undang-undang, maka konsekuensi biaya pilsung yang bermilyar-milyar rupiah itu harus dipikul oleh daerah, bukan oleh pemerintah pusat melalui APBN. Adakah daerah punya uang dan APBD nya yang banyak, sedangkan untuk kebutuhan lain juga tak kalah pentingnya? Berapa yang dibutuhkan Aceh untuk membiayai pilsung di 21 kabupaten dan kota plus pemilihan gubernur? Kecuali kalau pilsung tersebut diatur melalui UU, itu menjadi beban APBN dan berlaku secara nasional.

Saya tak memperpanjang dialog. Sebab, Pak Waki mulai membedah otak saya soal program kerja seorang calon walikota. Mimpi saya menjadi hangat. Keringat ke luar sekujur tubuh membasahi tilam dan bantal. Saya sulit menjawab ikhwal program kerja. Sebab, walikota sebelumnya juga tidak terlalu jelas program kerja, tetapi kerjanya jalan. Bukankah seorang Sayed Husein telah berhasil menghijaukan kota di hampir semua sudut? Setiap kali kita melihat taman dan pohon-pohon yang rindang, kita teringat Sayed Husein. Bukan yang lain!

Namun rindangnya pohon, banyaknya pembangunan toko, serta tumbuhnya industri rumah tangga sama sekali tak berarti jika listrik sering mati seperti yang acap dialami oleh Banda Aceh. Dalam suasana gelap gulita, orang tatkan bisa berjualan, rumah mewah akan kehilangan auranya, taman yang rindang dan asri pun akan berpeluang disalahgunakan. Saya pikir listrik menjadi salah satu prioritas bagi seorang calon walikota alias Pak Wali.

Dalam suasana itu, seorang lelaki muncul. Namanya Haji Tajuddin Hasan, sarjana ekonomi. Di depan Pak Waki tadi, Pak Tajuddin menjelaskan apa arti listrik bagi sebuah kota dan bagi kehidupan warganya. Saya mendengarnya dengan takzim presentasi Pak Tajuddin. Alangkah runut dan sistematisnya. Alangkah detailnya. Dia juga menceritakan bagaimana membangun ekonomi rakyat perkotaan. Listrik amat strategis kedudukannya. Saya pikir ya juga. Di Kawasan Industri Medan (KIM) di Jalan Medan - Belawan, banyak pengusaha yang ingin angkat kaki akibat terganggu pasokan arus listrik. Lalu muncul kebijakan baru dari Walikota Medan, Abdillah, dan KIM pun bisa diselamatkan dari hengkangnya para investor.

Kenapa Pak Tajuddin hadir dalam mimpi saya? Saya tidak tahu. Yang kemudian saya ketahui lelaki berusia 41 tahun itu adalah seorang sarjana ekonomi dan pengusaha. Putra kelahiran Pagar Air, desa di pinggiran Banda Aceh, ini memang sangat berpengalaman soal listrik. Dialah salah seorang penyelamat ketika Banda Aceh dilanda krisis listrik beberapa waktu lalu. Bukan orang yang ikut membeli ginset lalu ribut dan ditahan polisi. Bukan! Dialah yang memboyong mesin listrik dari Kalimantan ke Aceh. Kalau pernah dengar atau bahkan pernah lihat PLTD Apung di Uleelheue, maka dialah lelaki di balik kehadiran benda tersebut ke sini.

Tapi kenapa dia tiba-tiba hadir dalam mimpi saya semalam, persis ketika saya ingin mendekati anggota dewan dalam upaya menjadi calon walikota? “Saya hanya datang ingin menyelamatkan Anda dari serangan pertanyaan anggota DPRD soal listrik dan langkah membangun Kota Banda Aceh. SEorang calon walikota tak boleh tergagap-gagap di depan anggota DPRD dan di depan rakyatnya,” kata Tajuddin. Ada bayang-bayang yang melintas. Dalam ilusi dan mimpi, lintasan itu tiba-tiba berubah. Dan itu saya pastikan kemudian yang melintas itu adalah Pak Abdillah, Walikota Medan. Abdillah adalah seorang wiraswastawan, bukan pegawai negeri dan bukan politisi. Seorang partikulir! Dia boleh dibilang sukses membangun Medan yang berpenduduk hampir dua juta jiwa. Saya juga seorang partikulir yang ingin jadi Walikota Banda Aceh dengan penduduk tak sampai setengah juta jiwa. Persoalannya pun tak serumit Medan. Apalagi kalau anggota DPRD ––dan siapa pun–– benar-benar tak mau terlibat politik uang.

Ini peluang, memang! Tapi saya malu sama Pak Tajuddin dalam mimpi itu. Dia jauh lebih layak. “Oke, kalau begitu Anda sebagai wakil walikota mendampingi saya,” jawab Tajuddin ketika saya menawarkan alternatif tadi. Saya menggeleng. “Kalau Bapak jadi walikota, saya ikhlas. Tak perlu jadi wakil. Jadi rakyat atau warga kota saja sudah puas,” kata saya. Soalnya seorang rakyat lebih bisa menikmati dan berasyik maksyuk dengan mimpi-mimpinya ketimbang seorang pejabat, meskipun mimpi tak ada larangan sama sekali. ■

courtesy: http://www.serambinews.com/index.php?aksi=bacaopini&opinid=79

1 comment:

Anonymous said...

Sebelumnya saya sampaikan rasa kagum dan salut kepada tulisan-tulisan Anda. Tidak sengaja saya dialamatkan ke etalase milik Pak Barlian AW oleh Yahoo-search. Yang menghantarkan saya kesini adalah kebiasaan yang selalu saya lakukan kalau saya rindu dengan ayah saya, Alm.Drs.H.Syarifuddin Latief. Biasanya mulai dari menemui para sahabat/koleganya, sampai melihat2 kembali artikel-artikel usang yang memuat sepenggal cerita tentang beliau saat menjabat sebagai walikota dulu, apapun yang membawa saya kepada jejak dan kenangan tentang beliau. Saya adalah putri bungsu beliau, saat terjadinya Tsunami saya berada di Medan, waktu itu saya masih kuliah di USU.
Memang tulisan anda ini bukan secara kusus menceritakan tentang beliau, dan walaupun anda menyebutkan hanya dalam mimpi, namun saya yakin anda memang pernah bertemu secara langsung.
Semoga beliau meninggalkan kesan yang baik terhadap Anda, dan bila pernah ada ucapan atau tindakan beliau yang menyinggung perasaan, baik disengaja/tidak, mohon Anda ikhlas untuk memaafkannya.

Dhien Kausarina,
cc_augusty@yahoo.com